Sutan Syahrir adalah seorang pejuang kemerdekaan yang aktif bergelut dalam bidang organisasi untuk mencapai tujuannya. Bersama-sama dengan pahlawan kemerdekaan lainnya seperti Soekarno dan Moh Hatta, ia menunjukkan rasa nasionalisme yang tinggi di dalam dirinya. Mereka beriringan dan saling bahu membahu dalam mewujudkan suatu negara merdeka yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Seorang pejuang kemerdekaan yang berjuang di garis belakang ini sangat pandai dalam melakukan diplomasi. Dengan tubuh kecilnya itu, ia dapat membuktikan bahwa semangat dan kecerdasannya berperan penting dalam proses memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, dengan tubuh yang kecil tetapi diimbangi dengan semangat yang membara tersebut beliau kemudian lebih akrab dipanggil dengan sebutan “Bung Kecil”.
Sebagai seorang yang berjuang dalam rangka memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajah, tentunya seorang Sutan Syahrir memiliki perjalanan hidup yang menarik untuk diketahui. Di bawah ini telah Munus sajikan beberapa informasi terkait Sutan Syahrir mulai dari profil, biografi, peran, hingga quotes terkenal hasil gubahannya. Simak artikel di bawah ini untuk membantu menambah pengetahuanmu mengenai tokoh sejarah kemerdekaan Indonesia.
Profil Sutan Syahrir
Daftar Isi
Lahir sebagai suku Minang, Syahrir dilahirkan pada tanggal 5 Maret 1909 di Padang Panjang, Sumatera Barat dan wafat di Zurich, Swiss, 9 April 1966 pada umurnya yang ke 57 tahun. Ia dilahirkan di sebuah keluarga mapan dimana sang ayah yang bernama Mohamad Rasad Gelar Maharajo Sutan berprofesi sebagai seorang jaksa dan ibunya yang bernama Puti Siti Rabiah berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Ketika usianya menginjak angka empat tahun, sang ayah diangkat oleh Sultan Deli menjadi kepala jaksa sekaligus penasihat bagi Kesultanan Deli.
Lahir di keluarga yang mapan dan berpendidikan, Syahrir tumbuh dan berkembang menjadi seorang dengan pola pikir intelektual yang tinggi, perintis, serta revolusioner. Tak hanya dirinya, saudaranya pun merupakan orang-orang hebat di bidangnya. Sebut saja Rohana Kudus yang berprofesi sebagai wartawan wanita yang terkemuka adalah saudara seayah dengannya. Saudara lain dari Syahrir bernama Soetan Sjahsam yaitu seorang makelar pribumi yang kehebatannya diakui pada masanya.
Biografi Sutan Syahrir
Perjalanan hidup seorang tokoh pejuang kemerdekaan bernama Sutan Syahrir ini memiliki berbagai kisah menarik untuk dibahas. Mulai dari masa kecil, remaja, hingga kemudian menyandang gelar sebagai perdana menteri pertama Indonesia. Mari simak lebih lanjut sepak terjang kehidupan Syahrir mulai dari masa kecilnya.
Baca juga: Tan Malaka – Bapak Republik Si Pemikir Kritis
Masa Kecil-Remaja (1909-1929)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Syahrir lahir di keluarga yang mapan dimana sang ayah adalah seorang kepala jaksa dan penasehat Kesultanan Deli.Berkat hal tersebut, keluarganya mempunyai dana yang cukup untuk menyekolahkan beliau di sekolah yang berkualitas di Medan dan Bandung pada masanya. Beliau mulai bersekolah di Medan dari jenjang setingkat SD dan SMP yang dikenal dengan nama ELS & MULO. Pada 1926, setelah lulus dari MULO beliau langsung melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi setara dengan SMA yaitu AMS di Bandung.
Memiliki kesempatan untuk mengenyam bangku pendidikan tidak lantas membuat Syahrir takabur dan sombong. Beliau justru mengoptimalkan segala kesempatan yang datang dengan menjadi bintang kelas yang sangat pandai, rajin membaca buku filsafat, hingga aktif di berbagai kegiatan yang mendukung perkembangannya. Beliau tak hanya pandai dalam hal pengetahuan, namun juga terampil dibuktikan dengan keikutsertaannya di klub teater, musik biola, hingga bergabung dengan klub sepakbola di Bandung.
Saat baru berusia 18 tahun, seorang Syahrir telah mendirikan sekolah Tjahja Volksuniversiteit, yang berarti “Universitas Rakyat Cahaya” dalam bahasa Melayu, khusus ditujukan untuk rakyat miskin di Bandung.Di sekolah ini, telah banyak anak-anak yang dapat belajar membaca dan berhitung secara gratis. Di sisi pergaulan sosialnya, beliau bersama teman-teman nya mendirikan klub diskusi politik Patriae Scientiaeque yang membawanya bertemu dengan aktivis lainnya yaitu Soekarno. Posisi Soekarno saat itu adalah sebagai seorang pemimpin sebuah klub debat dari Bandung Technische Hogeschool atau yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan ITB bernama Algemenee Studie Club.
Aktivis bertemu dengan sesama aktivis melahirkan sebuah ide untuk mendirikan klub diskusi dengan nama Jong Indonesien yang nantinya berubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927 dimana Syahrir bertindak sebagai ketuanya. Dari kepengurusan Syahrir di Jong Indonesien tersebut lahirlah sebuah momen bersejarah yaitu peristiwa Sumpah Pemuda yang terjadi pada 28 Oktober 1928.
Pendidikan di Belanda
Lulus dari AMS di Bandung, Sutan Syahrir melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Ia menempuh pendidikan di Universiteit van Amsterdam di Belanda dengan mengambil jurusan Hukum. Pengalaman di Belanda inilah kemudian beliau tertarik untuk membedah beberapa gagasan politik dunia. Gagasan tersebut seperti Krl Max, Rosa Luxemburg, Otto Bauer, dan lain sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut mampu untuk membuat pikirannya lebih terbuka.
Sebelumnya pergerakan untuk membebaskan Indonesia yang saat itu disebut Hindia Belanda lebih dulu dimulai oleh para senior Syahrir. Nama pergerakan tersebut adalah Perhimpunan Indonesia (PI) di Rotterdam diketuai oleh Mohammad Hatta. Singkat cerita, Moh Hatta yang saat itu masih sibuk dengan urusan lainnya mengajak Syahrir untuk ikut serta di gerakan Perhimpunan Indonesia. Alasannya mengikutsertakan Syahrir dalam gerakan tersebut adalah karena popularitas Syahrir sebagai pemuda yang berbakat.
Perpaduan dua orang karismatik dan cerdas tersebut semakin membara dimana mereka mulai bertukar dan beradu gagasan.Pertukaran gagasan tersebut dilandasi semangat mereka dalam upaya memerdekakan Indonesia. Akan tetapi, pembebasan Hindia Belanda tidak berjalan sesuai rencana karena disebabkan oleh konflik internal yang terjadi di PI. Hatta dan Syahrir dikeluarkan dari Perhimpunan Indonesia karena sebagian besar anggotanya merujuk pada ideologi komunis sedangkan Hatta dan Syahrir cenderung sosialis dan nasionalis.
Perjuangan Awal
Di sisi lain, gerakan perjuangan di tanah air dalam keadaan terhambat setelah Soekarno ditangkap oleh de Graeff pada tahun 1929. Pergerakan yang tadinya dipelopori oleh PNI di bawah kepemimpinan Soekarno terkendala dan semakin menciut. Keadaan tersebut semakin diperburuk oleh perpecahan PNI yang membentuk partai baru yang diberi nama Partindo. Partindo sendiri terlihat cenderung lebih memihak pihak pemerintahan Belanda.
Pada saat pergerakan di tanah air hampir padam sepenuhnya, dua sejoli Hatta dan Syahrir mendirikan surat kabar Daulat Ra’jat sebagai sarana untuk menyuarakan pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda. Selanjutnya Syahrir meninggalkan kampusnya dan kembali ke tanah air untuk melanjutkan perjuangannya pada penghujung tahun 1931. Ia kemudian membangun kembali PNI-Baru pada bulan Juni 1932 dan memegang posisi sebagai ketua.
Pada Agustus 1932 Hatta juga pulang ke tanah air dan dengan segera ia dan Sutan Syahrir memimpin PNI Baru dalam perjuangannya. Dengan keturutsertaan Syahrir dalam memimpin PNI Baru, ia menjalankannya dengan mencetak kader-kader pergerakan. Dibandingkan dengan PNI di bawah kepemimpinan Soekarno yang lebih mengutamakan mobilitas massa, PNI Baru dalam naungan Syahrir lebih merujuk pada kualitas setiap anggotanya.
Melihat potensi revolusioner sari PNI Baru, pemerintahan Belanda mengambil tindakan untuk menangkap, memenjarakan, dan kemudian membuang Mohammad Hatta, Sutan, Syahrir, beserta beberapa pimpinan dari PNI Baru. Mereka dibuang oleh Belanda ke Boven Digoel yaitu kawasan malaria yang berada di Papua. Mereka menghabiskan waktu selama satu tahun di Boven Digoel sebelum kemudian dipindahkan ke Banda Neira selama enam tahun.
Baca juga: Moh Hatta: Biografi Sang Proklamator dan Manusia Jam
Pendudukan Jepang dan Perjuangan Menuju Kemerdekaan
Pada Maret 1942, Jepang berhasil menduduki wilayah Indonesia dan mengalahkan Belanda. Guna mendapat dukungan rakyat Indonesia, para pemberontak yang dalam masa pengasingan tersebut dibebaskan begitu saja diantaranya Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, bahkan juga Soekarno. Setelah ketiga pejuang tersebut kembali ke Jakarta, mereka berkumpul di rumah Hatta yang mana momen tersebut adalah pertama kalinya mereka bertemu sehingga dianggap momen bersejarah.
Soekarno dan Hatta saat itu memilih untuk berkompromi dengan pemerintahan Jepang. Mereka melakukan hal tersebut dengan harapan agar tidak terjadi pertumpahan darah mengingat Jepang dengan mudahnya mengalahkan Belanda. Namun, Sutan Syahrir tidak setuju dan lebih memilih untuk bergerak secara underground.
Akhirnya pada pertengahan 1945 Jepang kewalahan dengan berbagai kekalahan yang dialaminya akibat serangan Sekutu. Menyadari keadaan tersebut, Syahrir berpendapat bahwa saat itulah waktu yang tepat untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia dan mendesak Soekarno untuk itu. Tokoh-tokoh perjuangan lain pun belum ada pergerakan termasuk Hatta, Tan Malaka, dan bahkan Soekarno memilih untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan Jepang.
Sejarah yang agak panjang terjadi sebelum pernyataan Indonesia merdeka. Salah satunya adalah peristiwa diculiknya Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Hingga pada akhirnya proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Peran Sutan Syahrir
Seperti yang telah kita ketahui bahwasanya peran Sutan Syahrir dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah kepiawaiannya dalam berdiplomasi. Selain itu, beliau juga pandai dalam hal mengatur strategi dan mengumpulkan masa. Dimana hal tersebut terbukti saat beliau menggencarkan operasi pemberontakan underground yang tidak terdeteksi oleh pemerintahan Belanda.
Contoh berhasilnya proses diplomasi Sutan Syahrir adalah ketika ia mengirimkan bantuan logistik berupa 500.000 ton beras ke India yang saat itu masih di bawah jajahan Inggris. Akibatnya, Indonesia pun berhasil mendapatkan dukungan dari India yang tak berapa lama bebas dari penjajahan Inggris serta berhasil Inggris terkagum dengan hal yang dilakukan oleh Syahrir tersebut.
Sejak saat itu hubungan Indonesia dan India terjalin dengan baik dimana India mengundah pihak dari Indonesia untuk ikut serta dalam sebuah konferensi Hubungan Negara-Negara Asia yang berlangsung di New Delhi. Sejalan dengan hal itu, jaringan internasional yang dibangun oleh Syahrir semakin meluas dengan mengikuti berbagai konferensi di Kairo, Mesir, Suriah, Iran, Burma, dan juga Singapura.
Kesimpulan
Sutan Syahrir adalah seorang pahlawan kemerdekaan lini belakang yang memiliki kontribusi besar dalam mencapai kemerdekaan Indonesia. Ia menjadi salah satu pahlawan dengan sebutan unik yaitu “Bung Kecil” yang berbanding terbalik dengan semangatnya yang teramat besar. Jasa-jasanya terhadap Indonesia tidak dapat dibalas hanya dengan ucapan terimakasih. Maka dari itu kita perlu untuk mengapresiasi jasa-jasanya dalam mewujudkan negara Indonesia yang merdeka.
Baca juga: Kapitan Pattimura: Akhir Perjuangan di Tiang Gantungan
Tidak ada komentar