1. Biografi
  2. Tokoh

Biografi Eduard Douwes Dekker, Tanggal Lahir, & Hasil Perjuangan

Eduard Douwes Dekker adalah seorang pejuang keturunan Belanda yang ikut bergerak memperjuangkan keadilan bagi rakyat Indonesia atas untuk menolak kekejaman sistem tanam paksa. 

Perjuangan dan suaranya ia gemakan melalui tulisannya dengan menggunakan nama pena dari bahasa Latin “Multatuli”, yang berarti “aku yang banyak menderita”. Melalui tulisan-tulisanya Eduard Douwes Dekker  menyatakan penentangan kepada Pemerintah Hindia Belanda.

Ingin tahu lebih banyak tentang Eduard Douwes Dekker alias Multatuli? Berikut ini bahasan lengkap tentang biografi Eduard Douwes Dekker dan hasil perjuangannya.

Eduard Douwes Dekker, Penulis Belanda yang Membela Indonesia

Eduard Douwes Dekker lahir di Amsterdam pada 2 Maret 1820. Ia lahir dari keluarga terpandang yang berpendidikan tinggi, ayahnya adalah seorang kapten kapal. Hal ini membuat Eduard yang memang pada dasarnya pintar memiliki akses pendidikan yang tinggi. 

Artikel Terkait

    Feed has no items.

Namun, ditengah menjalankan pendidikannya, Eduart merasa bosan hingga mengakibatkan jatuhnya prestasinya dan dikeluarkan dari sekolah. Eduard Douwes Dekker merupakan penulis terkenal yang aktif menulis dengan gerakan ide liarnya meski gaya penulisanya biasa saja. 

Ketika datang ke Indonesia, Multatuli melihat secara langsung kekejaman Belanda melalui sistem tanam paksa. Ia menyaksikan dengan jelas bagaimana penyalahgunaan kekuasaan menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh kalangan Belanda yang membuat rakyat pribumi menderita. 

Ilustrasi Lebak di Masa Penjajahan Belanda
Ilustrasi Indonesia di Masa Culturstelsel atau Tanam Paksa (sumber: Haarets)

Beliau merupakan seorang pejuang yang berjuang mengkritik pemerintahan Belanda yang keterlaluan terhadap rakyat Indonesia. Kritiknya ia kumpulkan dalam sebuah novel satir berjudul Max Havelaar (1960). Karya sastra dari Eduard Douwes Dekker ini merupakan salah satu tulisan penting yang mempelopori gaya penulisan baru.

Multatuli merupakan nama samaran untuk Eduard Douwes Dekker menulis. Buku beliau, yakni Max Havelaar yang terbit pada tahun 1960 merupakan kumpulan kisah mengenai kesewenangan Belanda ketika menjajah Indonesia dan eksploitasi rakyat Indonesia. Max Havelaar memiliki arti “lelang kopi perusahaan dagang Belanda”

Nama Multatuli adalah penggambaran betapa menderitanya kehidupan Eduard Douwes Dekker yang pada saat itu miskin, tidak memiliki pekerjaan, dan belum terkenal sebagai penulis. Melalui nama Multatuli lah, Eduard Douwes Dekker terkenal sebagai pejuang revolusioner yang menyadarkan kaum pribumi Indonesia dan dunia tentang bengisnya penjajahan Belanda.

Biografi Eduard Douwes Dekker

Dalam perjalanan hidupnya, Eduard Douwes Dekker memiliki kesempatan secara langsung melihat bagaimana Pemerintah Hindia Belanda mengeksploitasi rakyat Indonesia. Mari kita bahas biografi Eduard Douwes Dekker dan bagaimana titik ia memulai perjalannya.

1. Masa Kecil Hingga Remaja

Dilahirkan dari keluarga terpandang pada 2 Maret 1980 membuat Eduard kecil memiliki privilege untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang tinggi. Ayahnya adalah seseorang yang memiliki penghasilan tinggi sehingga menjadikan pendidikan sebagai hal penting untuk keluarganya.

Eduard bersekolah di Sekolah Latin lalu dilanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi ke sebuah universitas.Ia merupakan murid yang berprestasi dan cukup ahli pada bidangnya. Rasa bosannya membuat prestasinya anjlok dan dikeluarkan dari sekolahnya. Hal ini membuatnya kemudian ditempatkan di suatu kantor perdagangan. 

Penempatannya di kantor perdagangan membuat seorang Eduard dijauhkan oleh pergaulannya. Ia yang biasanya hidup berkecukupan pada saat itu merasakan bagaimana beratnya hidup. Ia mengerjakan pekerjaan yang dianggapnya hina. Pekerjaan tersebut dilakukan Eduard selama empat tahun lamanya yang meninggalkan kesan tidak terlupakan.

Dari pengalaman tersebut ia memahami bagaimana hidup sebagai kalangan rakyat biasa ternyata tidak memiliki pengaruh dan perlindungan apapun. Kutipan pemikiran dari Eduard ini merupakan kutipan yang diambil dari biografi Eduard Douwes Dekker.

2. Sepak Terjang Eduard Douwes Dekker di Indonesia

Eduard Douwes Dekker pergi ke Indonesia pada tahun 1838. Pada tahun 1839 ia tiba di Batavia dan memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri (ambtenaar).  Tiga tahun kemudian ia melamar pekerjaan sebagai pamong praja di Sumatera Barat. Ia kemudian dikirim ke kota Natal, yakni sebuah kota terpencil bagi seorang kontrolir oleh Gubernur Jendral Andreas Victor Michiels.

Jabatan yang didapatkan oleh Eduard membuat beliau sangat senang dikarenakan bagi seorang ambtenaar, jabatan yang didapatkan cukup tinggi. Ia memiliki tugas pemerintahan dan pengadilan serta tugas keuangan dan administrasi. Namun, ia tidak menyukai tugas-tugas tersebut dan mengabaikannya hingga Pemerintah Hindia Belanda mengalami kerugiaan dan memberhentikan Eduard.

Ia kemudian tinggal di Padang selama satu tahun dan kemudian mendapatkan izin pindah ke Batavia. Disana ia mendapatkan fasilitas rehabilitasi dan uang. Pada tahun 1946 Eduard diangkat menjadi pegawai tetap. Tak lama, pangkatnya dinaikkan oleh Johan George Otto Stuart von Schmidt auf Altenstadt menjadi seorang sekretaris residen.

Atas prestasi kerjanya, Eduard kemudian memohon pengakuan diplomat kepada Gubernur yang kemudian disetujui. Kesalahan yang ia lakukan pada saat di Kota Natal pun dimaafkan seolah tidak terjadi apa-apa. Perjalanan selanjutnya bagi Eduard adalah menjadi seorang sekretaris residen di Manado. 

Karirnya terus berkembang pesat hingga sampai di titik dimana Eduard Douwes Dekker mendapatkan mandat menjadi asisten residen dan ditugaskan di Ambon pada tahun 1851.Namun, pada dasarnya Eduard merasa sangat tidak cocok dengan atasannya, yakni sang Gubernur yang menyalahgunakan kekuasaannya sehingga bawahannya tidak dapat mengambil inisiatif.

Biografi Eduard Douwes Dekker
Foto Asli Eduard Douwes Dekker Selama Berkarir di Indonesia (sumber: Wikipedia)

Pada tahun 1982, Eduard mengajukan cuti dengan alasan kesehatan dan kembali pulang ke Belanda. Setelah balik ke Belanda, Eduard tidak mampu mengatur keuangannya dikarenakan permainan judi. Pada 10 September 1855, Eduard kembali ke Batavia bersama dengan istrinya. 

Ketika melanjutkan bekerja, Eduard Douwes Dekker kembali menjadi asisten residen dan ditempatkan di Lebak. Daerah tersebut ternyata memiliki keadaan yang buruk. Lebak saat itu memiliki kondisi keuangan yang sulit, pemerintah pada saat itu hanya bisa mengandalkan pemasukan dari pekerjaan rakyat saja. 

Dari sanalah Eduard menemukan fakta bahwa telah terjadi praktik-praktik pemerasan yang terjadi pada rakyat yang dilakukan oleh Bupati Lebak dan para jajarannya. Mereka membeli ternak dan hasil bumi rakyat dengan harga yang terlalu murah.

Tidak sampai sebulan Eduard Douwes Dekker bertugas di Lebak, ia menuliskan sebuah surat kepada residen C.P. Brest van Kempen dengan menceritakan fakta-fakta yang terjadi pada daerah Lebak. Ia ingin agar bupati beserta putra-putranya ditahan dan diselidiki. Atas desakan dari Eduard tersebut, terjadi kabar burung bahwa pejabat yang sebelumnya dialihkan meninggal dunia karena diracun yang membuat ia dan keluarganya merasa terancam.

Permintaan yang diajukan oleh pembuat atasannya mengadakan pemeriksaan di tempat tersebut, namun permintaan Eduard yang lain ditolak. Hal ini membuat Eduard pengajuan pengunduran diri dan memohon agar atasannya mengabulkan permintaannya.

3. Penentangan Cultuurstelsel di Daerah Lebak

Cover Buku Max Havelaar, Hasil Perjuangan Eduard Douwes Dekker
Cover Buku Max Havelaar, Hasil Perjuangan Eduard Douwes Dekker (sumber: Good Reads)

Dikutip dari buku Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007 (2007) yang ditulis oleh Taufik Rahzen mengatakan bahwa sekembalinya Eduard dari Belanda ia kemudian menuliskan dengan jelas bagaimana sistem tanam paksa yang dilakukan oleh Belanda telah menindas rakyat Jawa. 

Catatan itu kemudian ia jadikan sebuah novel yang berjudul Max Havelaar yang diterbitkan pada tahun 1960. Pada novel tersebut, Eduard menuliskan otobiografi bagaimana eksploitasi yang sebenarnya terjadi di lapangan.  Dari sanalah Eduard yang dikenal sebagai Multatuli dikenal secara internasional.

Buku Multatuli kemudian sampai di tangan para aktivis, politis sosialis-demokrat, dan liberal di Belanda yang menuntut perubahan nasib rakyat yang dijajah. Hal ini mengakibatkan diberhentikannya Gubernur Jenderal Van den Bosch di Hindia Belanda dan dihapuskannya sistem tanam paksa.

Pada tahun 1870 terjadi perubahan kebijakan terhadap negeri jajahan yakni diberikannya pendidikan di bawah konsep politik etis. Perubahan ini memunculkan sekolah-sekolah seperti HIS, ELS, Mulo, AMS, dan lainnya. Berawal dari sekolah tersebut, mulai muncul pergerakan kemerdekaan.

Perbedaan Eduard Douwes Dekker dan Ernest Douwes Dekker Serta Hubungan Keduanya

Perbedaan Eduard Douwes Dekker dan Ernest Douwes Dekker
Eduard Douwes Dekker dan Ernest Douwes Dekker (sumber: website resmi Pemerintah Lebak)

Eduard Douwes Dekker dikenal sebagai pengarang novel satiris berjudul Max Havelaar yang memiliki saudara bernama Jan Douwes Dekker. Jan memiliki cucu bernama Ernest Douwes Dekker. Ernest Douwes Dekker adalah salah satu dari 3 serangkai yang pernah diasingkan oleh Belanda.

Ernest Douwes Dekker juga dikenal memiliki nama Danudirja Setiabudi yang digunakan ketika Indonesia sudah merdeka. Ernest lahir di Pasuruan pada 8 Oktober 1879 dan meninggal di Bandung pada tahun 1950. Eduard Douwes Dekker dan Ernest Douwes Dekker merupakan 2 orang yang berbeda namun masih memiliki satu ikatan keluarga yang sama.

Pada akhir hayatnya, Eduard Douwes Dekker tinggal di Jerman bersama dengan seorang anak yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri. Ia tetap aktif menulis seperti menulis naskah drama dan berbagai surat. Ia meninggal pada 19 Februari 1887 di Ingelheim am Rhein.

Kritik-kritik yang disampaikan oleh Eduard Douwes Dekker terhadap sistem tanam paksa telah memberikan pengaruh besar dimana terjadinya perubahan kebijakan. Pengaruh tersebut memberikan perubahan dimana terdapat akses pendidikan di Indonesia meski pada saat itu belum terbuka lebar bagi seorang orang. 

Pendidikan inilah yang menjadi dasar pergerakan kemerdekaan yang terjadi di Indonesia untuk merdeka dari penjajah. Peran Eduard Douwes Dekker perlu kita ingat sebagai bagian dari awal perjuangan untuk menyuarakan kemerdekaan.

Tidak ada komentar

Komentar untuk: Biografi Eduard Douwes Dekker, Tanggal Lahir, & Hasil Perjuangan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    ARTIKEL TERBARU

    Terdapat ragam seni pertunjukan yang terkenal di Bali, salah satunya adalah tari Topeng Sidakarya yang merupakan bagian penting dari upacara keagamaan Hindu. Tari Topeng Sidakarya adalah salah satu seni pertunjukan di Bali yang dipentaskan dari generasi ke generasi. Biasanya, seni pertunjukan ini ditampilkan sebagai bagian dari upacara sakral kaum Hindu, yaitu upacara Yadnya. Seni tari […]
    Indonesia adalah negara yang kaya akan berbagai bentuk budaya, salah satunya tari tradisional. Tari Melemang merupakan tarian adat yang berasal dari Tanjungpisau negeri Bentan Penaga, Bintan, Kepulauan Riau. Tari malemang mengisahkan tentang kehidupan kerajaan di Bintan pada zaman dahulu. Tarian ini mengombinasikn unsur tari, musik, serta nyanyian menjadi kombinasi tari yang indah. Ingin tahu lebih […]

    Trending

    Selama masa penjajahan Belanda di Indonesia, sangat banyak terjadinya pemberontakan. Salah satunya, pemberontakan petani Banten 1888. Pemberontakan ini merupakan bentuk perlawanan para petani di Cilegon, Banten terhadap peraturan yang dibuat oleh Pemerintahan Kolonial Belanda. Lantas, bagaimanakah cerita dari pemberontakan ini yang menjadi bagian sejarah? Kalian bisa baca ceritanya, pada artikel ini! Awal Mula Pemberontakan Petani […]
    Apapun yang terkait dengan fashion, terlebih kalau menyangkut kekeluargaan kerajaan pasti menarik untuk diketahui. Termasuk, pakaian kerajaan pada masa lalu yang tentu mengandung nilai bersejarah penting.  Kali ini kami akan mengajak kalian membahas pakaian putri Kerajaan Majapahit yang merupakan salah satu kerajaan berjaya di Nusantara antara abad ke-13 dan ke-16. Penasaran dengan pakaian putri khas […]