Nama Sarwo Edhie Wibowo mungkin masih sangat asing di telinga kita khalayak umum. Namun, nama beliau di dunia militer terkenal sebagai salah satu sosok legenda komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat, yang saat ini lebih terkenal sebagai Komandan Pasukan Khusus (Kopassus) sekaligus ayah dari ibu negara, Ani Yudhoyono, dan mertua dari Susilo Bambang Yudhoyono..
Pada kesempatan kali ini, Museum Nusantara akan mengenal lebih dalam tentang awal kehidupan, karier militer dan para penerus dari Sarwo Edhie Wibowo. Untuk mengetahui lebih dalam lagi, simak penjelasan di bawah ini.
Sarwo Edhie Wibowo, Sang Penumpas G30S PKI
Daftar Isi
Sarwo Edhie Wibowo lahir pada 25 Juli 1925 di Desa Pangenjuru, Purworejo, Jawa Tengah dari pasangan Raden Kartowilogo dan Raden Ayu Sutini. Beliau lahir dari keluarga yang bekerja pada pemerintah kolonial Belanda.
Pada awalnya, Ia hanya memiliki nama Edhie saja, tapi karena sering sakit-sakitan, nama Sarwo ditambahkan.Raden Kartowilogo memiliki harapan supaya Edhie dapat memiliki kewibawaan, sama seperti nama Wibowo.
Edhie lahir dari keluarga yang masih memiliki darah bangsawan, tapi beliau tidak pernah segan untuk bermain bersama anak-anak desa pada umumnya. Orang tua Edhie mengajarkan untuk tidak membeda-bedakan kedudukannya dengan orang lain.
Seiring berjalannya waktu, Edhie yang pada saat itu masih hidup di era Indonesia masih bernama Hindia Belanda mulai tertarik dengan dunia militer. Beliau kagum terhadap tentara Jepang serta kemenangan mereka ketika melawan pasukan Sekutu dalam perang Pasifik.
Karier Militer Sarwo Edhie Wibowo
Awal Karir
Awal karir Edhie masuk ke dunia militer dimulai pada tahun 1942 ketika Jepang menguasai Indonesia. Beliau menuju ke Surabaya untuk bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA), yang pada saat itu menjadi kekuatan tambahan pasukan jepang serta terdiri dari orang-orang Indonesia.
Ketika Sarwo Edhie Wibowo pertama kali bergabung dengan PETA, tugasnya sebagian besar hanya melakukan bersih-bersih, memotong rumput, serta membuat tempat tidur untuk perwira Jepang. Tentu saja, Edhie merasa kecewa karena tugas yang diberikan tersebut.
Setelah Indonesia merdeka, Edhie bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR sendiri adalah organisasi militer yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Setelah bergabung, Edhie membuat batalyon, tapi usaha ini gagal dan batalyon bubar.
Kemudian atas dorongan dari Ahmad Yani, Sarwo Edhie bergabung dengan batalyon yang ada di Magelang, Jawa Tengah. Perlahan karier Edhie meningkat, Ia pernah ditunjuk menjadi Komandan Batalyon Divisi Diponegoro pada tahun 1945 sampai 1951, Komandan Resimen Divisi Diponegoro pada tahun 1951 sampai 1953, Wakil Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional dari tahun 1959 sampai 1961, Kepala Staf Resimen Pasukan Komando pada 1962 sampai 1964 hingga menjadi Komando Resimen Pasukan Komando (RPKAD) pada 1964 sampai 1967.
Sarwo Edhie Wibowo dan Misteri 1965
Ketika peristiwa gerakan 30 September 1965 terjadi, Sarwo Edhie menjabat sebagai Komandan RPKAD. Ia ikut terlibat penumpasan G30S/PKI.
Sarwo Edhie mendapat kabar pada tanggal 1 Oktober 1965 dari Mayor Subardi bahwa Menteri Panglima Angkatan Darat saat itu Letjen Ahmad Yani serta enam jenderal lainnya diculik dari kediaman rumah mereka.
Jenderal Sarwo Edhie Wibowo mengumpulkan semua perwira ke kediamannya untuk memastikan kekuatan. Setelah para perwira berkumpul, mereka mendapat informasi bahwa terjadi pembentukan Dewan Revolusi dan gerakan 30 September, hal ini berarti sedang terjadi kudeta.
Sarwo Edhie kemudian menemui Soeharto di Markas Kostrad dan membahas tentang situasi serta pengamanan tempat-tempat vital. Pasukan Sarwo Edhie merebut Radio Republik Indonesia dan Bandara Halim Perdanakusuma dari tangan PKI. Selain itu, Ia juga memimpin penggalian mayat para jenderal dari sumur Lubang Buaya.
Sarwo Edhie memihak kepada Soeharto. Ia melakukan penyisiran ke berbagai daerah untuk mencari anggota dan kader PKI setelah penemuan jenazah para jenderal yang dikubur di Lubang Buaya. Sarwo Edhie diberi tugas melenyapkan anggota PKI di daerah Jawa Tengah. Oleh karena itu, terjadi pembunuhan massal pada bulan Oktober-Desember 1965 di Bali, Jawa dan Sumatera.
Banyak korban jatuh pada peristiwa ini karena saat itu Partai Komunis Indonesia telah dituduh sebagai penyebab dari G30S dan sentimen anti-Komunis menjadi semakin kuat di masyarakat.
Transisi Orde Lama ke Orde Baru
Setelah kejadian 1965, popularitas Soekarno semakin menurun karena terjadi inflasi yang tinggi serta sentimen anti-komunis. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada tanggal 10 Januari 1966 melakukan demonstrasi dan memberikan tiga tuntutan, antara lain : PKI harus dilarang, simpatisan PKI dalam kabinet harus ditangkap, serta penurunan harga pokok.
Soeharto kemudian menyatukan kekuatan antara Angkatan Darat dengan pengunjuk rasa. Sarwo Edhie dan Kemal Idris mendukung gerakan protes KAMI dengan memberi dukungan supaya protes tetap berlanjut meskipun sudah dilarang Soekarno.
Pada tanggal 11 Maret 1966 pagi hari, Sarwo Edhie beserta pasukannya mengepung istana presiden sesuai arahan Soeharto untuk menangkap simpatisan PKI dalam kabinet. Oleh karena istana yang dikepung, Soekarno melakukan evakuasi ke Bogor dan kekuasaan sebagai presiden jatuh ke tangan Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Sarwo Edhie kemudian dipindah tugaskan ke Sumatera pada tahun 1967 dan menjadi Panglima Kodam II/Bukit Barisan. Edhie melanjutkan upaya untuk melemahkan kekuasaan Soekarno di Sumatera dengan cara melarang Partai Nasional Indonesia.
Setelah dari Sumatera, beliau dipindahkan lagi ke Irian Barat dan menjadi menjadi Panglima Kodam XVII/Cenderawasih di sana. Tujuan beliau dipindahkan ke Irian Barat adalah untuk melawan perlawanan rakyat Papua.
Akhir Hayat Sarwo Edhie Wibowo
Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie meninggal dunia pada tanggal 9 November 1989 di Rumah Sakit Angkatan Darat Jakarta setelah dirawat cukup lama karena sakit. Makam Sarwo Edhie Wibowo berada di pemakaman keluarga, Kampung Ngupasan, Purworejo, Jawa Tengah.
Semasa hidupnya, beliau juga pernah menjadi duta besar Indonesia untuk Korea Selatan serta menjadi Gubernur Akabri. Pada tahun 1997, Presiden Soeharto juga menganugerahi Sarwo Edhie pangkat Jenderal Kehormatan.
Penerus Sarwo Edhie Wibowo
Sarwo Edhie menikah dengan Sunarti Sri Hadiyah dan dianugerahi 7 orang anak, yaitu Wijiasih Cahyasasi, Wrahasti Cendrawasih, Kristiani Herawati, Mastuti Rahayu, Pramono Edhie Wibowo, Retno Cahyaningtyas dan Hartanto Edhie Wibowo.
Penerus jejak Sarwo Edhie dalam dunia militer adalah Pramono Edhie Wibowo. Pramono Edhie Wibowo menjadi taruna Akmil ketika ayahnya menjadi duta besar Indonesia di Korea Selatan pada tahun 1977 sampai 1980.
Setelah lulus taruna Akmil, Pramono bergabung dengan Komando Pasukan Sandi Yudha, mengikuti jejak sang ayah. Karir Pramono semakin meningkat dalam dunia militer. Akhirnya, Pramono dilantik menjadi Kepala Staf Angkatan Darat pada tahun 2011.
Pramono kemudian pensiun pada bulan Mei 2013. Jejak militernya dilanjutkan oleh sang keponakan, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono
Kemiliteran keluarga Sarwo Edhie berlanjut ke Agus Harimurti Yudhoyono. Ia pernah dinas di TNI Angkatan dan bertugas melakukan operasi pemulihan keamanan di Aceh tahun 2002. Selain itu, Ia juga turut ambil bagian dalam operasi perdamaian PBB di Lebanon pada tahun 2006. Agus Harimurti Yudhoyono kemudian mengundurkan diri dari militer dan berfokus pada dunia politik.
Karir kemiliteran dalam keluarga Sarwo Edhie masih dilanjutkan salah satu cucunya yang bernama Letkol Inf. Danang Prasetyo Wibowo. Ia menjadi Komandan Kodim 0607/Kota Sukabumi, setelah sebelumnya menjabat sebagai Danyon Raider 900 Udayana, Bali. Danang Prasetyo Wibowo adalah anak dari mantan Pangkostrad Letjen (Purn) Erwin Sudjono dan Wrahasti Cendrawasih.
Baca Juga : Mengenal Museum Lubang Buaya, Saksi Bisu Kekejaman G30S PKI
Demikian penjelasan mengenai biografi Sarwo Edhie Wibowo serta kiprahnya dalam militer Indonesia. Beliau terkenal sebagai sosok yang memiliki disiplin militer yang sangat tinggi, teguh dalam pendiriannya dan setia pada pengabdian. Semoga penjelasan kali ini bermanfaat.
Tidak ada komentar