Halo anak Nusantara! Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia mengalami banyak sekali guncangan dari dalam negeri. Gerakan pemberontakan silih berganti untuk menggantikan kedaulatan NKRI. Salah satunya adalah pemberontakan DI TII. Pada artikel kali ini, Museum Nusantara akan membahas tentang latar belakang sampai dari langkah penumpasannya.
Latar Belakang Pemberontakan DI TII
Daftar Isi
Pemberontakan DI TII berawal dari ketidakpuasan dari Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo terhadap kemerdekaan Republik Indonesia. Kartosoewirjo merasa bahwa kemerdekaan Indonesia pada saat itu masih berada dalam bayang-bayang Belanda.
Kemudian, Ia melakukan pertemuan dengan Raden Oni Syahroni dan Panglima Laskar Sabilillah. Pertemuan ini menentang Perjanjian Renville. Ketiga tokoh pemberontak DI TII tersebut menganggap bahwa Perjanjian Renville tidak melindungi masyarakat Jawa Barat.
Penolakan ini kemudian berkembang dengan pendirian Negara Islam Indonesia (NII) oleh Kartosoewirjo. Ide pendirian Negara Islam Indonesia merupakan bentuk protes kepada Belanda sekaligus Indonesia.yang memiliki pengaruh lemah.
Pengaruh Kartosoewirjo semakin kuat setelah Ia mendirikan angkatan bersenjata untuk Negara Islam Indonesia yang bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Tujuan pembentukan TII adalah untuk memerangi pasukan TNI (Tentara Negara Indonesia) supaya dapat memisahkan diri dari negara Indonesia.
Gerakan ini semakin berkembang pesat karena banyaknya dukungan dari daerah-daerah lain yang juga merasa kecewa terhadap Indonesia. Hal ini merupakan latar belakang terjadinya pemberontakan DI TII yang bermula di Jawa Barat dan merambat ke daerah lainnya.
Pemberontakan DI TII di Jawa Barat
Pemberontak DI TII yang terjadi di Jawa Barat dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Puncak pemberontakan terjadi pada tanggal 7 Agustus 1949 ketika Negara Islam Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Kartosoewirjo merupakan sosok pergerakan Islam yang cukup disegani di Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai anggota Masyumi dan Komisaris Jawa Barat pada masa pendudukan Jepang.
Kartosoewirjo memiliki cita-cita untuk mendirikan negara Islam. Ia kemudian mewujudkannya dengan membuat pesantren bernama Pesantren Sufah di Malangbong, Garut. Pesantren ini kemudian menjadi tempat santri belajar ilmu keagamaan dan juga latihan kemiliteran Hizbullah dan Sabililah. Oleh karena Kartosoewirjo adalah sosok yang disegani, beliau dapat mengumpulkan banyak pengikut dan kemudian membentuk pasukan Tentara Islam Indonesia (TII) dan kekuatan Kartosoewirjo menjadi semakin kuat.
Kemudian terjadi penandatanganan Perjanjian Renville pada tahun 1948 oleh Pemerintah RI yang mengharuskan para penduduk di Jawa Barat harus pindah ke Jawa Tengah. Kartosoewirjo menganggap hal ini sebagai bentuk pengkhianatan dari Pemerintah Indonesia terhadap masyarakat Jawa Barat.
Kemudian, Kartosoewirjo bersama para pengikutnya menolak untuk pergi dari Jawa Barat dan membuat Negara Islam Indonesia. Pemerintah mengambil tindakan dengan cara damai, yaitu dengan membentuk sebuah komite yang dipimpin oleh Natsir, selaku Ketua Masyumi.
Usaha ini tidak berhasil untuk membawa Kartosoewirjo kembali ke Pemerintahan RI. Sampai pada akhirnya, pemerintah melakukan operasi untuk menumpas Pemberontakan DI TII. Operasi ini bernama Operasi Baratayudha.
Pemberontakan DI TII di Jawa Tengah
Pemberontakan DI TII menyebar sampai ke Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fatah dan Mahfu’dz Abdurachman. Setelah mendapatkan pengikut yang cukup banyak, Amir Fatah memproklamasikan diri sebagai salah satu dari DI TII di Desa Pengarasan, Tegal.
Amir Fatah kemudian menjadi Komandan Pertempuran Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal Tentara Islam Indonesia. Selain itu, Mahfu’dz Abdurachman atau juga dikenal sebagai Kyai Somalangu melancarkan pemberontakan di Kebumen yang dilakukan oleh Angkatan Umat Islam (AUI).
Kedua gerakan tersebut kemudian bergabung dengan gerakan DI TII yang ada di Jawa Barat pimpinan Kartosoewirjo. Pemberontakan menjadi semakin kuat setelah Batalion 624 membelot pada Desember 1951 dan bergabung dengan DI TII yang ada di Kudus dan Magelang
Sebagai langkah menanggulanginya, pemerintah membuat pasukan khusus yang disebut sebagai Banteng Raiders. Pasukan ini melakukan rangkaian operasi untuk menumpas pemberontakan DI TII. Pemimpin operasi ini adalah Letnan Kolonel Sarbini yang kemudian digantikan oleh Letkol M.Bachrun dan kemudian dipegang oleh Letkol Ahmad Yani.
Pemberontakan DI TII di Aceh
Setelah Kartosoewirjo berhasil ditangkap oleh Tentara Nasional Indonesia yang kemudian dieksekusi pada 1962, gerakan DII menjadi terpecah dan semakin menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia.
Salah satunya adalah pemberontakan DI TII yang terjadi di Aceh pada tanggal 20 September 1953. Pemberontakan ini dapat dikatakan sebagai pemberontakan terbesar yang dilakukan oleh pihak DI TII dan NII di luar kelompok pimpinan Kartosoewirjo.
Proklamasi dibacakan oleh Daud Beureuh yang menyatakan diri bahwa Aceh adalah bagian dari Negara Islam Indonesia yang berada dalam kepemimpinan Imam Besar Kartosoewirjo. Peristiwa semakin menjadi tamparan bagi pemerintah Indonesia karena hal ini terjadi bertepatan ketika Presiden Soekarno meresmikan Pekan Olahraga Nasional ke III pada tanggal 20 September 1953 di Stadion Teladan Medan, Sumatera Utara.
Daud Beureuh merupakan tokoh pemberontakan DI TII yang memiliki peran besar di Aceh. Ia adalah sosok pemimpin gerakan sipil, agama, dan militer pada masa perang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika Agresi Militer Belanda yang pertama terjadi pada tahun 1947. Ia berkuasa penuh atas pertahanan wilayah Aceh dan menguasai aparat pemerintahan karena Daud menjabat sebagai Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh.
Oleh karena perannya tersebut, Daud Beureueh dengan mudah berhasil memperoleh banyak pendukung. Tidak hanya itu, Dalam persiapan melancarkan gerakan perlawanannya Daud Beureueh mampu mempengaruhi para pejabat Pemerintah Aceh, khususnya pemerintah daerah Pidie. Bahkan, NII di Aceh ini berhasil menguasai hampir seluruh daerah di Aceh.
Penumpasan DI TII
Untuk menumpas pemberontakan DI TII di Jawa Barat, pemerintahan mengeluarkan peraturan No. 59 Tahun 1958 membahas tentang penumpasan DI TII. Pemerintah Indonesia menurunkan pasukan Kodam Siliwangi serta taktik Pagar Betis yang melibatkan tenaga rakyat untuk mengepung tempat persembunyian DI TII.
Untuk penumpasan DI TII di Jawa Tengah, pemerintah menumpas pemberontakan dengan membentuk Gerakan Banteng Nasional. Pasukan DI TII berhasil ditangkap di Desa Cisayong Tasikmalaya pada tanggal 22 Desember 1950 dan Amir Fatah dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun.
Untuk penumpasan DI TII di Aceh, pemerintah melakukan upaya penumpasan dengan upaya militer dan diplomasi. Operasi militer yang dilakukan adalah Operasi Merdeka dan Operasi 17 Agustus. Upaya diplomasi yang dilakukan adalah dengan mengirim utusan ke Aceh untuk bernegosiasi dengan Daud Beureueh. Pemberontakan DI TII berhasil diselesaikan dengan cara damai, yaitu memberikan hak otonomi kepada Aceh sehingga menjadi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Baca Juga : Gerakan Republik Maluku Selatan : Latar Belakang & Tujuannya
Demikian adalah penjelasan Museum Nusantara tentang pemberontakan DI TII. Semoga informasi yang sudah diberikan dapat menambah wawasan kalian tentang sejarah Indonesia.
Tidak ada komentar