Keragaman seni dan budaya datang dari berbagai suku di Indonesia yang sangat kaya. Dengan masyarakat Jakarta yang heterogen, macam ras dan cama suku adat, maka dari itu gedung kesenian dibutuhkan untuk menjalin persahabatan melalui kesenian. Di era seperti sekarang ini, menyaksikan pertunjukkan tidak hanya sekedar untuk hiburan tetapi sudah menjadi gaya hidup.
Gedung Kesenian Jakarta atau yang sering disingkat GKJ merupakan wadah bagi para seniman dari seluruh penjuru Nusantara memperlihatkan kreasi seninya dari drama, teater, film hingga sastra, dan musik. Perjalanan sejarah gedung ini dimulai dari Periode Pendudukan tentara Inggris.
Penggagas pertama dari Gedung Kesenian Jakarta ini adalah penguasa kolonial Inggris di Batavia yang dipimpin Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles, ketika pasukan Raffles menduduki Batavia. Pasukan Inggris merasa ada yang janggal, karena kota Batavia saat itu tidak memiliki gedung pertunjukkan, sedangkan seni khususnya teater adalah hiburan favorit mereka. Sehingga pada tanggal 27 Oktober 1814 mereka mendirikan Gedung Kesenian Jakarta.
Gedung Teater Militer sebuah sebutan awal dari gedung kesenian itu, namun Belanda secara sinis menyebutnya dengan Bamboe Theater. Gedung yang begitu sederhana digunakan sebagai gedung teater militer, tentara Inggris yang bertugas di Batavia. Pada tahun 1816 Inggris dikalahkan oleh Belanda di medan perang, sehingga mereka tidak lagi bisa menikmati kesenian teater militer yang mereka miliki.
Pada masa pendudukan Belanda, gedung ini dikenal dengan sebutan Gedung Komedi. Gedung yang awalnya dibangun oleh Inggris lalu dipugar dan dibangun kembali oleh Belanda dengan bangunan baru yang lebih megah bergaya Empire. Pembangunan gedung yang menghabiskan waktu selama 14 bulan dan diresmikan pada tanggal 7 Desember 1821, menjadi gedung pertunjukan bergengsi di Batavia.
Namun pada masa Perang Dunia II (1939-1945) merupakan masa yang paling suram bagi gedung kesenian ini. Beberapa kurun waktu Gedung Kesenian ini ditempati oleh para tentara Jepang dan dijadikan sebagai markasnya. Gedung kesenian ini dikenal dengan sebutan Siritsu Gekitzyoo, setelah Badan Urusan Kebudayaan oleh pemerintah Jepang di tahun 1943 bangunan tersebut digunakan kembali sebagai tempat pertunjukkan.
Gedung Kesenian Jakarta inipun dijadikan ajang persiapan para pemuda untuk menghadapi tugas-tugas dalam menyiapkan kemerdekaan dan membentuk perkumpulan yang dinamai dengan Seniman Merdeka. Kelompok dengan beranggotakan Usmar Ismail, Cornel Simanjuntak, Rosihan Anwar, Malidar Malik, Soerja Soemanto dan lainnya. Mereka berkeliling menggunakan truk yang dari Pusat Kebudayaan Jepang untuk berkeliling memberikan dorongan semangat rakyat agar bersama-sama menentang penjajah, dan GKJ digunakan sebagai pangkalan tetap mereka.
Tidak hanya itu, Gedung Kesenian Jakarta ini juga pernah digunakan untuk sidang pertama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di tanggal 29 Agustus 1945, dua belas hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Lalu pada tahun 1951, gedung ini sempat digunakan oleh Universitas Indonesia gunakan untuk ruang perkuliahan malam mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Hukum. Tidak berhenti disitu, Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) menggunakan gedung ini di sekitar tahun 1957-1961.
Di antara tahun 1968-1984, gedung ini juga pernah beralih fungsi menjadi bioskop. Gedung ini semakin usang, ditambah karena bioskop lebih mementingkan layar dibandingkan panggung yang menjadikan semakin tidak terawat. Pada awal tahun 1970, GKJ mulai terkalahkan dengan lahirnya Pusat Kesenian Jakarta atau Taman Ismail Marzuki di wilayah Cikini yang lebih luas dan menjadi markas bagi para seniman.
Pada masa Gubernur Ali Sadikin, GKJ pernah dipugar oleh Dinas Pemugaran Gedung, yang dipimpin oleh Ir. Ars. Tjong Pragantha, Adji Damais dan tim Seni Rupa ITB yang diwakili oleh Bapak Surya Pernawa dan Bapak Yusuf Affendi. Struktur asal muasal GKJ diteliti dengan menggali data asli bangunan hingga mengirimkan tim survey sejarah GKJ ke negeri Belanda. Baru setelah dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta, gedung tua ini kemudian dipugar dan dikembalikan kepada fungsinya semula menjadi gedung kesenian yang bernama resmi Gedung Kesenian Jakarta. Gedung ini diresmikan penggunaannya kembali pada tanggal 5 September 1987, dengan menampilkan orkes simfoni pimpinan Idris Sardi dan pementasan Teater Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer.
Gedung Kesenian Jakarta, sebagai gedung peninggalan bersejarah dan dilindungi yang harus dilestarikan keberadaannya. Gedung dengan desain yang unik dan khas dari masa itu (Empire Style), termasuk sebagai cagar budaya di DKI Jakarta, sehingga sesuai dengan ketentuan peraturan bangunan cagar budaya, bangunan GKJ dikembalikan kepada bentuk asal, dengan tidak mengurangi atau menambahkan dari bentuk aslinya.
Baca Juga : Museum Fatahillah – Sejarah, Alamat & Harga Tiket Masuk
Lokasi Gedung Kesenian Jakarta
Alamat Gedung Kesenian Jakarta berada tepat di Jalan Gedung Kesenian No.1, Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat.
Jika ingin menghadiri event di lokasi ini bisa mengambil rute perjalan seperti dari daerah Stasiun Gambir melalui Jalan Medan Merdeka Timur dan Jalan Perwira lalu melewati Jalan Lapangan Merdeka Barat dan menelusuri Jalan Katedral dan menuju Jalan Pos dan tiba di Jalan Gedung Kesenian.
Info Gedung Kesenian Jakarta
Harga tiket masuk (HTM) event di Gedung Kesenian Jakarta ini tergantung penyelenggara event.
Untuk harga parkir motor berkisar di Rp 3.000 dan untuk mobil di kisaran Rp 5.000. Harga mungkin bisa berubah sewaktu-waktu.
Untuk info selanjutnya bisa menghubungi nomor telepon 021-380 8283 atau 021-344 1892, dan fax 021-381 0924. Melalui email pun bisa di info@gedungkesenianjakarta.co.id. Untuk penggunaan gedung dapat pula menghubungi Divisi Artistik dan Program.
Baca Juga : Mengenal Dunia Pewayangan di Museum Wayang Jakarta
Tidak ada komentar