1. Biografi
  2. Tokoh

Bung Tomo: Riwayat Hidup & Bara Semangatnya untuk Surabaya

Bung Tomo adalah salah satu tokoh pahlawan yang terlibat dalam peristiwa pertempuran 10 November 1945 yang saat ini diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Namanya sangat melekat sebagai tokoh penting dalam melawan sekutu Belanda yang membonceng Netherlands Indies Civil Administration atau NICA bersama arek-arek Suroboyo.

Salah satu ucapannya yang populer hingga saat ini adalah “Merdeka atau Mati” yang menjadi salah satu semboyan penyemangat bangsa dalam melawan penjajahan. Lantas bagaimanakah riwayat hidup dan bara semangatnya dalam peristiwa pertempuran Surabaya pada saat itu? Untuk lebih mengenal sosok yang satu ini, mari kita simak penjelasan singkat mengenai biografi Bung Tomo berikut ini.

Riwayat Bung Tomo

Sutomo, Pemimpin Revolusi Indonesia (Sumber: Wikimedia Commons)
Sutomo, Pemimpin Revolusi Indonesia (Sumber: Wikimedia Commons)

Sutomo atau yang akrab dipanggil sebagai Bung Tomo dilahirkan di Kota Surabaya pada tanggal 3 Oktober 1920 di Kampung Blauran. Beliau merupakan anak pertama dari pasangan Kartawan dan Subastita. Kelima adiknya bernama Sulastri, Suntari, Gatot Suprapto, Subastuti, dan Hartini.

Ayah Sutomo bernama Kartawan Tjiptowidjojo yang pernah bekerja sebagai pegawai pemerintah, staf perusahaan swasta, sampai staf perpajakan pada masa pendudukan Belanda. Sedangkan Ibunya adalah seorang perempuan berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura yang anak seorang distributor lokal mesin jahit Singer di wilayah Surabaya. Orang tua Subastita adalah seorang polisi kotapraja dan anggota Sarekat Islam (SI)  sebelum pindah ke Surabaya. 

Artikel Terkait

    Feed has no items.

Bung Tomo berasal dari keluarga yang berada pada saat itu. Namun walau terlahir di keluarga yang berada, Sutomo rela bekerja keras untuk memperbaiki keadaan agar menjadi lebih baik. Saat usianya menginjak 12 tahun, ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO akibat dampak depresi besar dunia pada saat itu. 

Berdasarkan riwayat pendidikannya, Sutomo berusaha menyelesaikan pendidikan HBS lewat korespondensi, namun tidak pernah berhasil dan resmi lulus. Di usia mudanya, beliau juga aktif dalam organisasi atau yang biasa disebut dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). 

Sutomo menegaskan, filsafat kepemimpinannya, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang dimiliki dari kelompok tersebut diperoleh dari kakeknya yang merupakan sosok pengajar yang arif dan budiman serta sering mengajarkan nilai-nilai kebangsaan yang tinggi. Saat usianya 17 tahun, Sutomo menjadi sosok yang terkenal karena pencapaiannya yang sangat luar biasa karena menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai Pandu Garuda.

Kemudian pada tanggal 19 Juni 1947 Sutomo menikah dengan Sulistina, seorang mantan perawat Palang Merah Indonesia (PMI). Pasangan ini dikaruniai empat orang anak, yang bernama Titing Sulistami, Bambang Sulistomo, Sri Sulistami, dan Ratna Sulistami.

Karir Bung Tomo

Berbicara tentang karir Bung Tomo, awal mulanya ia memiliki minat besar pada dunia jurnalisme. Pada 1937 ia pernah bekerja sebagai wartawan lepas di Harian Soeara Oemoem Surabaya. Lalu setahun kemudian ia menjadi Redaktur Mingguan di Pembela Rakyat.  

Pada tahun 1939 ia juga menjadi wartawan dan penulis pojok harian berbahasa Jawa, Ekspres, di Surabaya.  Selanjutnya pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945 pernah bekerja di kantor berita tentara pendudukan Jepang yaitu Domei dan ditempatkan di bagian Bahasa Indonesia untuk seluruh Jawa Timur.  

Saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 diproklamirkan, peran Bung Tomo adalah sebagai jurnalis yang bertugas untuk meliput dan memberitakannya dalam bahasa Jawa bersama wartawan senior Romo Bintarti untuk menghindari sensor dari pihak Jepang. Kemudian pada awal tahun 1945 menjadi Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.

Setelah kemerdekaan, Bung Tomo memiliki berbagai macam karir pada masa revolusi fisik yang terjadi pada tahun 1945–1949. Ia pernah menjadi Ketua Umum Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) sejak 12 Oktober 1945–Juni 1947. Selanjutnya ia juga menjadi Anggota Dewan Penasihat Panglima Besar Jenderal Sudirman, Ketua Badan Koordinasi Produksi Senjata di seluruh Jawa, dan lain sebagainya. Bung Tomo juga adalah sosok yang membuat siaran pengumuman panggilan masuk kemiliteran RI untuk pertama kalinya.

Pekik Takbir Bung Tomo dalam Pertempuran Surabaya

Banyak masyarakat yang percaya bahwa Pertempuran 10 November 1945 adalah ikon revolusi untuk kemerdekaan Indonesia, sedangkan Bung Tomo memimpin peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. “Allahu akbar! Merdeka!” adalah sebuah pekik takbir dan penutup pidato yang masih sering dikenang orang. 

Para pemuda Indonesia yang bekerja di radio Jepang di Surabaya mengambil alih fasilitas radio tidak lama setelah kemerdekaan diproklamasikan. Kelompok yang berpartisipasi dalam misi pemberontakan adalah Pimpinan Pemberontakan Rakyat Indonesia (PPRI) dibawah kepemimpinan Bung Tomo. Mereka ingin untuk menyiarkan tuntutan negara Indonesia yang berisikan “tuntutan kita, rakyat Indonesia, terutama untuk melaksanakan Perdamaian Dunia, yang kini sedang diganggu oleh NICA dan sekutunya”. 

Kelompok PPRI sendiri mempunyai sebuah “revolutie-zender” atau penyiar revolusi yang bernama Radio Pemberontakan.  PPRI juga meminta sokongan dari dunia internasional dengan berusaha menjangkau audiens asing. Untuk memperlancar usahanya PPRI meminta masyarakat Indonesia yang bisa berbahasa asing agar mendaftar menjadi anggota PPRI.

Kemudian misi siaran Radio Pemberontakan berhasil menjangkau hingga ke luar Indonesia sampai ke negara Thailand dan Australia. Siaran ini berhasil mendorong dunia internasional untuk menekan Belanda dan sekutunya yaitu Inggris untuk mengendurkan serangannya. Karena siaran ini pun berhasil mendatangkan berbagai bentuk bantuan bagi rakyat Surabaya.

Ketika pertempuran Surabaya pecah, perjuangan Bung Tomo dalam meminta para pemuda Surabaya agar tidak meninggalkan kota membuahkan hasil. Ia juga meminta tambahan pasukan untuk pertempuran Surabaya. Tak berlangsung lama, permintaannya terjawab karena tak lama berselang markas besar TKR di Yogyakarta mengirim seorang komandan yang berjumlah lebih dari dua puluh kadet untuk membantu para pejuang di Surabaya.

Radio Pemberontakan yang dipimpinnya juga meminta bantuan berupa bantuan medis untuk para korban pertempuran Surabaya. Siaran dan seruan di radio ini ini disambut positif para simpatisan dalam bentuk ratusan perawat yang datang secara sukarela dan sejumlah dokter. 

Akibat dari sikap dan semangat yang dimiliki olehnya, ia berhasil mempersuasi masyarakat dalam berpartisipasi untuk pertempuran. Sikap egaliternya dan kepemimpinannya yang tanpa hierarki, retorika khas Surabaya, dan seruan takbirnya mampu menyokong aspirasi dan semangat massa, khususnya pemuda, kelompok Islam, dan kalangan bawah untuk bertempur.

Selain pekik “merdeka atau mati”, penutup pidato Bung Tomo adalah berupa kalimat takbir. Hal itu menunjukkan bahwasanya ia memandang pertempuran 10 November yang terjadi di Surabaya memiliki makna spiritual dan menjadi media untuk menarik atensi kalangan muslim di seluruh wilayah Jawa Timur.

Akhir Hayat Bung Tomo

Bung Tomo meninggal dunia di Padang Arafah, saat sedang menunaikan ibadah haji pada 7 Oktober 1981. Jenazahnya dibawa kembali ke tanah air dan tidak dimakamkan di sebuah Taman Makam Pahlawan. Pada akhir hayatnya ia dimakamkan di sebuah tempat pemakaman umum yang ada di daerah Ngagel Surabaya.

Gelar Pahlawan bagi Bung Tomo

Gelar pahlawan bagi Bung Tomo awalnya didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG). Mereka mendesak pemerintah agar memberikan gelar pahlawan pada tanggal 9 November 2007.  

Kemudian gelar pahlawan nasional berhasil diberikan dan bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan pada tanggal 10 November 2008.  Keputusan ini disampaikan dan disahkan oleh Muhammad Nuh sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta.

Demikian pembahasan Museum Nusantara mengenai riwayat hidup Bung Tomo dan bara semangatnya untuk Surabaya. Beliau kini menjadi ikon dan pemimpin yang revolusioner dalam melawan penjajahan di indonesia. Semoga penjelasan Museum Nusantara ini dapat membantu teman-temen untuk mempelajari sejarah pahlawan ya!

Tidak ada komentar

Komentar untuk: Bung Tomo: Riwayat Hidup & Bara Semangatnya untuk Surabaya

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    ARTIKEL TERBARU

    Terdapat ragam seni pertunjukan yang terkenal di Bali, salah satunya adalah tari Topeng Sidakarya yang merupakan bagian penting dari upacara keagamaan Hindu. Tari Topeng Sidakarya adalah salah satu seni pertunjukan di Bali yang dipentaskan dari generasi ke generasi. Biasanya, seni pertunjukan ini ditampilkan sebagai bagian dari upacara sakral kaum Hindu, yaitu upacara Yadnya. Seni tari […]
    Indonesia adalah negara yang kaya akan berbagai bentuk budaya, salah satunya tari tradisional. Tari Melemang merupakan tarian adat yang berasal dari Tanjungpisau negeri Bentan Penaga, Bintan, Kepulauan Riau. Tari malemang mengisahkan tentang kehidupan kerajaan di Bintan pada zaman dahulu. Tarian ini mengombinasikn unsur tari, musik, serta nyanyian menjadi kombinasi tari yang indah. Ingin tahu lebih […]

    Trending

    Selama masa penjajahan Belanda di Indonesia, sangat banyak terjadinya pemberontakan. Salah satunya, pemberontakan petani Banten 1888. Pemberontakan ini merupakan bentuk perlawanan para petani di Cilegon, Banten terhadap peraturan yang dibuat oleh Pemerintahan Kolonial Belanda. Lantas, bagaimanakah cerita dari pemberontakan ini yang menjadi bagian sejarah? Kalian bisa baca ceritanya, pada artikel ini! Awal Mula Pemberontakan Petani […]
    Apapun yang terkait dengan fashion, terlebih kalau menyangkut kekeluargaan kerajaan pasti menarik untuk diketahui. Termasuk, pakaian kerajaan pada masa lalu yang tentu mengandung nilai bersejarah penting.  Kali ini kami akan mengajak kalian membahas pakaian putri Kerajaan Majapahit yang merupakan salah satu kerajaan berjaya di Nusantara antara abad ke-13 dan ke-16. Penasaran dengan pakaian putri khas […]