Masa Orde Baru adalah masa dimana kebebasan berpendapat dikekang. Rezim pemerintahan yang otoriter menjadikan rakyat Indonesia mau tidak mau harus tunduk dan patuh terhadap segala keputusan pemerintah. Namun demikian, guna memperbaiki keadaan maka muncullah para tokoh penggerak perubahan menentang keotoriteran. Satu dari sekian tokoh penggerak perubahan di masa Orde Baru adalah Wiji Thukul. Kisah lengkap dari tokoh perubahan Orde Baru ini akan Munus bahas di sepanjang artikel ini.
Biogafi Wiji Thukul
Daftar Isi
Wiji Thukul adalah seorang pejuang kebebasan berpendapat di masa Orde Baru yang dikenal karena puisi-puisinya yang menyindir pemerintahan. Ia lahir di Solo pada tanggal 26 Agustus 1963 tepatnya di Kampung Sorogenen dengan nama asli Widji Widodo. Ia lahir dari keluarga sederhana yang menganut agama Katolik dengan kondisi ekonomi yang juga sederhana. Sang ayah berprofesi sebagai tukang becak dan juga sang ibu yang terkadang menjual ayam bumbu guna menopang keuangan keluarga.
Terlahir sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, ia berhenti dan tidak menamatkan sekolahnya karena ingin mengurangi beban orang tuanya yang saat itu mengalami kesulitan ekonomi. Keputusannya itu ia lakukan agar adik-adiknya juga dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Meskipun begitu, ia tetap tidak berputus asa dan tetap belajar meski bukan dari bangku pendidikan formal.
Pendidikan
Latar belakang pendidikan dari seorang Wiji Thukul memanglah tidak tinggi. Ia menamatkan masa sekolah menengah pertamanya di SMP Negeri 8 Solo. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia dengan menggeluti jurusan tari. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, ia tidak menyelesaikan pendidikannya di bidang tari tersebut dikarenakan masalah keuangan yang dialami oleh keluarganya.
Ketertarikan
Seorang Wiji Thukul begitu tertarik pada bidang seni dan sastra mulai dari usia yang masih sangat belia. Ia sudah mulai menulis puisi sejak sekolah dasar sebagai hobi. Kemudian, ketika mengenyam pendidikan di bangku SMP ia memiliki minat dan ketertarikan yang cukup besar pada bidang teater hingga membuatnya bergabung dengan kelompok teater Jagat. Bahkan ia juga pernah mengamen puisi keluar masuk kampung dan kota.
Ketika sudah putus sekolah seorang Wiji mencicipi berbagai macam profesi pekerjaan guna membantu perekonomian keluarga dan juga untuk menyambung kehidupannya. Pekerjaan-pekerjaan tersebut umumnya merupakan pekerjaan serawutan seperti berjualan koran, calo karcis bioskop, hingga sebagai seorang tukang pelitur di perusahaan mebel. Segala bentuk pekerjaan ia lakukan sebagai upayanya menghidupi keluarga dan dirinya.
Pada tahun 1989 tepatnya pada bulan Oktober, Wiji mengarungi kehidupan baru yaitu pernikahan. Ia menikahi seorang wanita bernama Siti Dyah Sujirah alias Sipon. Dalam perkawinannya ia dikaruniai dengan dua orang anak. Anak pertamanya yang bernama Fitri Nganthi Wani dikandung tak lama setelah pernikahannya dan anak keduanya lahir pada tanggal 22 Desember 1993 dengan nama Fajar Merah.
Baca juga: Buya Hamka – Ulama Besar dengan Deretan Karyanya
Perjuangan
Sebagai seorang penyair puisi yang menyuarakan kebebasan berpendapat dan kritik terhadap pemerintah, Wiji dianggap sebagai musuh oleh pemerintah Orde Baru. Kritiknya terhadap pemerintah ia kemas dengan sangat rapi dalam bait-bait puitisnya. Tak jarang segala kejadian yang berhubungan dengan aksi semena-mena pemerintah diubahnya menjadi sebait dua bait kalimat puitis dengan substansi yang sama tajamnya atau bahkan lebih tajam dari kalimat biasa.
Salah satu contoh kekuatan puisi Wiji Thukul berada pada kata-kata puitisnya yang mana dapat mengobarkan semangat dan menjadi penggerak massa yang tertindas. Sebagai contoh peristiwa yang terjadi pada tahun 1994 di Ngawi, Jawa Timur. Thukul memimpin massa yaitu para petani dalam menjalankan aksi demonya. Pada kejadian tersebut Wiji yang memimpin massa dan mengumandangkan orasi ditangkap dan dipukuli militer.
Peristiwa lainnya terjadi pada 11 Desember 1995 dimana terdapat demo yang dilakukan oleh para buruh pabrik garmen PT Sri Rejeki Isman (Sritex). Di demo tersebut para buruh menuntut kenaikan upah kerja yang saat itu berada di bawah standar minimal provinsi meskipun mereka sering bekerja lembur hingga jatuh sakit. Thukul berhasil menyulut api semangat lebih dari lima belas ribu buruh untuk melakukan demo itu.
Sayangnya, Wiji mengalami cedera mata dalam aksi demonya di PT Sritex kala itu. Cedera mata yang dialami cukup parah dan hampir berujung pada kebutaan. Namun demikian, ia tidak pernah merasa jera untuk selalu memperjuangkan hak-hak rakyat kecil yang ditindas oleh pemerintah rezim Orde Baru.
Kata-kata Wiji Thukul
Puisi dan kata-kata karya Wiji Thukul rata-rata mengangkat pembahasan mengenai kekejaman rezim pemerintahan Orde Baru. Sebagai seorang aktivis, Wiji merasakan betul dibungkam kebebasannya dalam mengemukakan pendapat dan mengkritik kinerja pemerintah. Berikut beberapa karya berupa kata-kata dari Wiji Thukul yang dikenal oleh banyak orang.
“Apa guna punya ilmu tinggi kalau hanya untuk mengibuli, apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu.”
“Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan, di sana bersemayam kemerdekaan, apabila engkau memaksa diam, aku siapkan untukmu pemberontakan.”
– Wiji Thukul
Tak hanya itu, seorang sutradara bernama Yosep Anggi Noen membuat sebuah film yang terinspirasi dari kisah hidup seorang Wiji Thukul. Film yang diberi judul “Istirahatlah Kata-kata” bercerita tentang seluk beluk kehidupan Wiji. Dalam film Wiji Thukul itupun dikisahkan bagaimana perjuangannya dalam menantang pemerintah Orde Baru walaupun nyawa sebagai taruhannya
Hilangnya Wiji Thukul
Pada tahun 1996, sosok Wiji Thukul menghilang dari peradaban. Dugaan yang sangat kuat menyatakan bahwa ia telah diculik oleh pasukan mawar yaitu antek Orde Baru. Menilik dari lamanya hilangnya, maka sang istri sudah tidak kuat lagi dan melaporkannya pada pansus orang hilang. Sampai saat ini, setelah lebih dari 24 tahun menghilang, Wiji tetap tidak diketahui keberadaannya.
Kesimpulan
Seorang aktivis asal solo yang selalu berjuang menentang ketidakadilan pemerintah Orde Baru melalui bait-bait puitis adalah Wiji Thukul. Berjuang melawan rezim pemerintahan membuatnya dicap sebagai musuh oleh pemerintah hingga berujung pada hilangnya ia dari peradaban. Namun, karya-karya hasil olahan pemikirannya tetap bertahan dan dikenang oleh masyarakat Indonesia.
Baca juga: Jendral Sudirman: Biografi Singkat Hingga Keteladanan
Tidak ada komentar