Sempitnya pola pikir masyarakat Indonesia zaman dahulu yang berpikir bahwa sia-sia bagi wanita untuk menempuh pendidikan tinggi. Sama halnya dengan yang terjadi pada warga Minahasa, mereka beranggapan bahwa wanita hanya bisa memiliki profesi sebagai ibu rumah tangga. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan bagi para wanita tersebut membuat seorang wanita bernama Maria Walanda Maramis tergerak hatinya untuk membuat perubahan.
Maria Walanda Maramis telah menyaksikan sendiri bagaimana para gadis di Minahasa tidak diperbolehkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Setamatnya dari pendidikan dasar, mereka diharuskan untuk tinggal di rumah dan mengerjakan pekerjaan rumahan yang “khas” untuk perempuan. Mereka hanya perlu menunggu untuk seorang lelaki pilihan orang tuanya datang melamar.
Merasa sudah tidak tahan dengan keadaan yang selalu merendahkan kaum wanita, Maria bangkit untuk merubahnya. Ia mulai mendobrak kebudayaan yang sudah mengakar sejak lama itu dengan gebrakan-gebrakan pendidikan bagi para wanita. Hal yang ia lakukan tersebut dilakukannya karena ia terinspirasi oleh perjuangan seorang R.A . Kartini. Seperti apa perjalanan seorang Maria dalam memperjuangkan hak pendidikan kaum wanita dapat anak nusantara simak sebagai berikut.
Biografi Maria Walanda Maramis
Daftar Isi
Maria Walanda Maramis lahir di sebuah desa kecil bernama Kema, Minahasa, Sumatera Utara pada tanggal 1 Desember 1872. Ia memiliki nama asli Maria Josephine Catherine Maramis. Ayahnya bernama Bernadus Maramis dan ibunya Sarah Rotinsulu. Maria dilahirkan sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara.
Sebagai bungsu, ia memiliki seorang kakak perempuan dan satu laki-laki. Kakak perempuannya bernama Antje sedangkan kakak laki-lakinya bernama Alexander Andries Maramis. Kakak laki-lakinya tersebut kemudian lebih dikenal dengan sebutan A.A. Maramis yaitu seseorang yang nantinya menjadi menteri keuangan pertama di awal masa kemerdekaan Indonesia.
Sebagai seorang wanita yang lahir di desa kecil, Maria sedari kecil telah menjadi anak yatim piatu. Tepatnya pada saat ia berumur 6 tahun orang tuanya meninggal dunia di waktu yang berdekatan. Ketiga bersaudara yatim piatu tersebut kemudian diasuh oleh sang paman dari pihak ibu. Mereka tinggal bersama keluarga pamannya di Maumbi, Minahasa Utara.
Baca juga: Wiji Thukul: Penyair Bait Puitis Penentang Orde Baru
Pendidikan Formal
Selayaknya gadis Minahasa awal abad ke 20 lainnya, Maria Walanda Maramis hanya mengenyam bangku pendidikan sampai sekolah dasar. Nama sekolah tempatnya mendapat pendidikan adalah Sekolah Melayu di Maumbi. Di sekolah tersebut Maria hanya mempelajari pengetahuan-pengetahuan dasar seperti membaca, berhitung, dan sedikit ilmu mengenai sejarah. Setelah Maria bersama kakak wanitanya lulus dari sekolah tersebut, mereka tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Hal tersebut mereka lakukan karena mengikuti adat yang kental saat itu dimana tugas utama seorang wanita hanya terdiri dari dua hal. Yang pertama adalah menikah dan yang kedua adalah mengurusi keluarga. Meskipun demikian, Maria tidak menyerah dengan keadaan dimana ia mulai memperluas jaringan pertemanannya.
Dengan memperluas jaringan pertemanan, Maria bertujuan agar memperoleh banyak pengetahuan baru yang sebelumnya belum pernah ia dapat di bangku sekolah. Niatnya tersebut didukung dengan keadaannya dimana sang kakak laki-lakinya yakni A.A. Maramis memiliki banyak teman dari kalangan yang tentunya terpelajar. Dari situlah Maria Walanda Maramis memperoleh banyak pencerahan akan banyak hal yang sebelumnya belum pernah ia dapatkan.
Perjuangan Maria Walanda Maramis
Ketika Maria berusia 18 tahun, ia telah membina kehidupan baru karena pernikahannya dengan sang suami yang bernama Yoseph Frederick Calusung Walanda pada tahun 1890. Dari saat itulah ia mulai menggunakan “Walanda” sebagai nama tengah yang ia dapat dari sang suami. Hingga sekarang pun, wanita asal Minahasa yang memiliki cita-cita untuk mengangkat derajat para perempuan ini lebih dikenal dengan nama Maria Walanda Maramis.
Setelah menikah maka Maria pindah mengikuti sang suami tinggal di Manado. Pada waktu inilah ia mulai menghasilkan karya-karya berupa tulisan yang memuat buah pemikirannya dan kemudian dikirimkan ke surat kabar Thahaja Siang. Tjahaja Siang sendiri merupakan pionir surat kabar di Sulawesi Utara. Isi dari buah pemikirannya tersebut adalah seputar pemaparannya terkait pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan agar dapat menjadi istri dan ibu rumah tangga yang lebih baik.
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia: Masa Prasejarah Sampai Masa Proklamasi Kemerdekaan (2011: 108) yang ditulis oleh M. Junaedi Al Anshori tercatat bahwasanya pada 8 Juli 1917 Maria dan beberapa rekannya mendirikan sebuah organisasi. Hal tersebut dilakukan pada saat Maria berumur 45 tahun. Organisasi yang Maria dan rekannya, sang suami dan para cendekiawan lainnya, dirikan diberi nama Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya disingkat menjadi PIKAT.
PIKAT sendiri pada awalnya dibentuk sebagai forum untuk membahas dan mendiskusikan mengenai pendidikan anak. Namun, seiring berjalannya waktu gagasannya menjadi semakin luas yakni sebagai wadah guna memajukan kaum wanita di Minahasa. Berkat PIKAT jugalah kaum wanita Minahasa dan Sulawesi pada umumnya mulai sadar akan pentingnya untuk berorganisasi.
Buah gagasan Maria yang berupa organisasi PIKAT tersebut mulai berkembang dengan pesat hingga memiliki cabang di Kalimantan dan Jawa. Melalui organisasi bernama PIKAT ini pula Maria mendirikan sebuah sekolah gratis tanpa dipungut biaya bagi anak-anak perempuan yang dinamai Huishound School. Kemudian Maria kembali membuka sebuah sekolah khusus wanita yakni Sekolah Kejuruan Putri yang lengkap dengan asrama.
Baca juga: Sutan Syahrir- “Bung Kecil” Dengan Semangat yang Besar
Bidang Politik
Di bidang politik, pada tahun 1919 seorang Maria Walanda membuat suatu perubahan besar. Perjuangan tersebut berupa kesamaan hak bagi perempuan untuk ikut serta dalam memilih wakil rakyat di parlemen lokal bernama Minahasa Raad selayaknya seorang pria. Keberhasilan didapat atas perjuangan gigih Maria dalam membuktikan kesamaan derajat antara laki-laki dan perempuan.
Bahkan, hasil perjuangan Maria yang diperoleh adalah sesuatu yang lebih besar yakni kebolehan perempuan untuk dapat dipilih menjadi bagian dari sistem pemerintahan. Para perempuan dapat menempati posisi sebagai anggota di badan-badan perwakilan rakyat saat itu. Diantara badan-badan perwakilan rakyat saat itu adalah Minahasa Raad, Locale Raad, serta Gemeentse Raad.
Pahlawan Maria Walanda Maramis
Maria menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 22 April 1924 di Maumbi, Kalawat, Minahasa Utara. Berkat jasanya untuk mengangkat derajat perempuan Minahasa, pada tanggal 20 Mei 1969 ia kemudian dianugerahi gelar pahlawan Indonesia berdasarkan SK Presiden No 012/TK/1969. Sebagai bentuk apresiasi dibuatkanlah sebuah monumen Maria Walanda Maramis oleh Pemda Minahasa. Selain itu, setiap 1 Desember bertepatan dengan tanggal kelahirannya ditetapkan sebagai Hari Ibu Maria Walanda Maramis yang diperingati oleh Masyarakat Minahasa setiap tahunnya.
Kesimpulan
Sebagai salah satu tokoh emansipasi wanita pada awal abad ke 20, Maria Walanda Maramis memberikan perubahan yang signifikan dalam kehidupan kaum wanita Minahasa. Mulai dari memberi pendidikan dan pengajaran, organisasi, hingga berpolitik telah terjadi bukti bahwa wanita telah mendapat perlakuan yang lebih baik dari sebelumnya. Sosok Maria sendiri patut untuk dijadikan sebagai tauladan bagi anak nusantara untuk membuat suatu gebrakan perubahan ke arah yang lebih baik.
Baca juga: Dewi Sartika: Pelopor Pendidikan bagi Wanita Pribumi
Tidak ada komentar