Pangeran Harya Dipanegara atau lebih dikenal dengan pangeran Diponegoro merupakan salah satu pahlawan nasional Republik Indonesia yang berasal dari Yogyakarta. Pria yang lahir di Ngayogyakarta Hadiningrat atau Yogyakarta pada 11 November 1785 ini, adalah putra sulung dari R.A Mangkarawati yang merupakan selir dari Gusti Raden Mas Suraja atau Hamengkubuwana III.
Diponegoro memiliki nama kecil bernama Raden Mas Antawirya, namun ketika beranjak dewasa berganti nama menjadi Pangeran Diponegoro. Ia dikenal sebagai pahlawan nasional yang memimpin Perang Diponegoro yang selama periode tahun 1825 hingga 1830 melawan pemerintah Hindia Belanda. Perang ini dikenal sebagai perang yang paling banyak memakan korban, yakni sebanyak 8.000 korban serdadu Hindia Belanda, 7.000 pribumi, dan 200 ribu orang jawa serta kerugian materi 25 juta Gulden.
Kehidupan Pribadi Pangeran Diponegoro
Daftar Isi
Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang menyukai sirih dan rokok sigaret Jawa yang dilinting khusus menggunakan tangan, mengoleksi emas, serta berkebun. Ia juga menyukai roti bakar, kentang Belanda dengan campuran sambal, dan keripik singkong.
Diponegoro mulai menikah pada usia 27 tahun dan ia dikenal sebagai pria yang romantis. Ia setidaknya pernah menikah beberapa kali. Beberapa istri yang pernah dinikahi Diponegoro seperti :
- Raden Ayu Retno Madubroto
- Raden Ajeng Supadmi
- R.A. Retnadewi
- Raden Ayu Citrawati
- Raden Ayu Maduretno
- Raden Ayu Retnoningrum
- Raden Ayu Retnaningsih
- R.A. Retnakumala
- Syarifah Fathimah Wajo
Istri pertama dan ketiganya meninggal ketika Diponegoro masih tinggal di Tegalrejo. Ia juga bercerai dengan istri keduanya setelah tiga tahun menikah. Sedangkan, istri keempatnya yaitu Raden Ayu Citrawati meninggal tidak lama setelah melahirkan bayinya. Bayi tersebut akhirnya diserahkan kepada Ki Tembi untuk diasuh dan diberi nama Singlon atau yang terkenal dengan nama Raden Mas Singlon. Ia pun menikah kembali untuk kelima kalinya. Istrinya kelimanya diangkat sebagai permaisuri dengan gelar Kanjeng Ratu Kedaton I, sedangkan Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdul Hamid pada 18 Februari 1828. Setelah itu, ia menikah kembali dengan Raden Ayu Retnoningrum, Raden Ayu Retnaningsih, R.A. Retnakumala, dan terakhir Syarifah Fathimah Wajo.
Dari seluruh pernikahannya, ia dianugerahi anak sebanyak 12 orang putra dan 5 orang putri yang saat ini keturunannya tersebut tersebar di berbagai penjuru dunia, seperti Jawa, Madura, Sulawesi, Maluku, Australia, Serbia, Jerman, Belanda, dan Arab Saudi.
Perang Diponegoro
Awal penyebab terjadinya Perang Diponegoro yaitu ketika pemerintah Belanda memasang patok di tanah milik Pangeran Diponegoro yang ada di desa Tegalrejo. Sikapnya yang secara terbuka menentang Belanda mendapatkan simpati dan dukungan dari rakyat. Kemudian, atas saran pamannya, yaitu GPH Mangkubumi, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan mempersiapkan perang untuk melawan Belanda. Dalam masa melawan Belanda, ia menggunakan strategi gerilya dan memusatkan perlawanannya di Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya merupakan perang sabil, yaitu perlawanan melawan kaum kafir.
Semangat perang yang dikumandangkan oleh Diponegoro kemudian pengaruhnya mulai menyebar ke berbagai daerah seperti Pacitan dan Kedu. Bahkan, salah satu tokoh agama di Surakarta, yaitu Kyai Madja, mulai ikut bergabung dengan pasukannya. Ia tertarik untuk berjuang bersama karena Pangeran Diponegoro ingin mendirikan kerajaan yang berlandaskan Islam. Kekeluargaan antara keduanya mulai erat setelah Kyai Madja menikah dengan janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Diponegoro. Selain Kyai Madja, perjuangan Diponegoro juga mendapat dukungan dari Sunan Pakubuwana VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan.
Pada puncak peperangan, Belanda yang mulai kewalahan menghadapi peperangan mengerahkan lebih dari 23.000 pasukannya. Belanda berhasil menangkap Kyai Madja serta membuat Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya yaitu Sentot Ali Basya menyerahkan diri pada tahun 1827 dengan menggunakan strategi banteng yang mereka gunakan. Kemudian, pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal de Kock berhasil mengepung pasukan Diponegoro di Magelang. Disana, Pangeran Diponegoro menyatakan bahwa ia akan menyerahkan diri dengan syarat sisa pasukannya di lepaskan. Hingga akhirnya ia ditangkap dan diasingkan ke Manado.
Wafatnya Pangeran Diponegoro
Saat ditangkap dan akan diasingkan ke Manado, kondisi Pangeran Diponegoro sudah dalam keadaan lemah, muntah-muntah akibat mabuk laut, dan terkena sakit malaria. Ia beserta rombongannya, yaitu istri, dua anaknya, dan 23 pengikutnya tiba di Manado pada 12 Juni 1830.
Pada awalnya, ia akan ditempatkan di Tondano, namun akhirnya dipindahkan ke Benteng Manado untuk sementara waktu agar tidak bertemu dengan Kyai Madja yang berada di Tondano. Diponegoro beserta rombongannya berada di Benteng Manado sejak Juni 1830 hingga Juni 1833. Lalu, ia dipindahkan ke Makassar secara diam-diam pada tahun 1833 dan ditempatkan di benteng Fort Rotterdam selama sebelas tahun. Ia menghabiskan akhir hayatnya di Makassar dan meninggal pada 8 Januari 1955 pada usia 69 tahun.
Keris Pangeran Diponegoro
Keris milik Pangeran Diponegoro yaitu keris Kyai Naga Siluman yang sempat hilang 150 tahun yang lalu telah di temukan di Belanda dan resmi diserahkan ke Museum Nasional Indonesia yang ada di Jakarta.
Pada awalnya Diponegoro memberikan keris ini kepada utusan Jenderal de Kock, Kolonel Jan-Baptist Cleerens saat setelah ia ditangkap pada 28 Maret 1830. Keris itu akhirnya dihadiahkan oleh Cleerens kepada Raja Willem I pada 1831. Yang kemudian, disimpan di Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden (KKZ) atau koleksi khusus kabinet Kerajaan Belanda.
Koleksi yang ada disana tersebar ke sejumlah museum saat setelah KKZ dibubarkan. Namun banyak informasi tersebar tentang hilangnya beberapa koleksi, termasuk Keris Kyai Naga Siluman yang ada di Museum Volkenkunde di Leiden.
Pencarian pun dimulai pada 1984 oleh Peter Pott, kurator Museum Volkenkunde yang akhirnya menjabat sebagai direktur museum. Namun, penelitiannya akhirnya terhenti. Pencarian mulai kembali dilakukan oleh Johanna Leihjfeldt (2017) dan Tom Quist (2019).
Hingga akhirnya ditemukannya Keris Kyai Naga Siluman di Belanda. Hal itu dibuktikan dari tiga dokumen penting. Yang pertama yaitu korespondensi antara De Secretaris van Staat dengan Directeur General van het department voor Waterstaat, Nationale Nijverheid en Colonies. Dalam korespondensi tersebut disebutkan bahwa Kolonel Cleerens menawarkan kepada Raja Belanda Willem I sebuah keris dari Diponegoro. Kedua yaitu kesaksian Sentot Prawirodirjo yang ditulis dalam bahasa Jawa yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Belanda. Surat itu berisi tentang pernyataan bahwa Sentot melihat sendiri Diponegoro menyerahkan Keris Kyai Naga Siluman kepada Kolonel Cleerens. Dan yang ketiga adalah catatan Raden Saleh yang ditulis di bagian sisi kanan surat kesaksian Sentot Prawirodirjo. Catatan itu berisi tentang Raden Saleh yang telah melihat dengan mata kepalanya sendiri keris itu di Belanda dan menjelaskan makna Keris Kyai Naga Siluman serta ciri-ciri fisik keris itu.
Namun demikian, diantara pusaka-pusaka milik Pangeran Diponegoro, keris Kyai Ageng Bondoyudo masih diakui sebagai yang paling utama. Selain karena memiliki “isian” sebagai penguasa semua roh di Cilacap, keris itu pula yang menemani Diponegoro ketika dimakamkan di Makassar, saat wafatnya pada 8 Januari 1855.
Tidak ada komentar