Tuanku Imam Bonjol adalah pahlawan pejuang Indonesia sekaligus tokoh ulama yang sangat disegani masyarakat. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh utama dalam perang saudara atau yang sering disebut dengan perang Padri Sumatra Barat.
Potretnya mulai digunakan sebagai ikon uang kertas lima ribuan RI sejak 06 November 2001. Selain itu, kita juga dapat menjumpai potret Tuanku Imam Bonjol di dinding kelas sekolah. Tentunya, sebagian besar dari kita sudah mengenal beliau dan tidak asing lagi dengan namanya. Kali ini, Munus akan memberikan informasi mengenai salah satu tokoh pahlawan nasional yang sangat terkenal ini.
Biografi Tuanku Imam Bonjol
Daftar Isi
Tuanku Imam Bonjol memiliki nama lahir Muhammad Shahab. Ia dilahirkan pada 1 Januari 1771 di Bonjol, Pasaman, dari pasangan Khalib Bayanudin (Ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya adalah seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh kota.
Banyak sekali gelar-gelar yang disematkan masyarakat kepadanya, diantaranya ialah gelar Malin Basa (tokoh yang dianggap besar dan mulia) karena telah belajar agama Islam di Aceh. Sosok Muhammad Shahab atau Imam Bonjol dewasa, dikenal sebagai pemuka agama islam, sebagai pribadi yang sopan dan santun. Selain itu, ada lagi beberapa gelar yang didapatkannya yaitu Tuanku imam dan Peto Syarif.
Pada suatu hari, beliau ditunjuk sebagai imam (pemimpin) kaum Padri oleh Tuanku nan Renceh, seorang pemimpin dari Kamang, Harimau nan Salapan. Sejak saat itu, sebutan Tuanku Imam Bonjol melekat pada diri Muhammad Shahab. Seperti yang kita kenal sekarang ini.
Perjuangan di Perang Padri
Tuanku Imam Bonjol tumbuh dewasa di Sumatera ketika terjadinya perang saudara atau yang kita kenal dengan perang Padri. Perang Padri adalah perang yang terjadi antara kaum Padri dengan kaum adat yang bersekutu dengan koloni Belanda. Perang ini diawali ketika kaum Padri dipengaruhi oleh ajaran wahabi di tanah Arab, ingin membersihkan agama Islam dari penyelewengan-penyelewengan dan ingin mengembalikannya menjadi islam yang murni, tanpa adanya campuran adat.
Apabila kaum Padri berhasil menaklukkan dan mengembalikan ajaran islam murni, maka daerah tersebut akan dikuasai oleh para ulama. Sehingga kaum adat merasa terancam, karena sebelumnya daerah tersebut adalah daerah kekuasaan kaum adat, oleh karena itu kaum adat meminta bantuan kepada Inggris yang saat itu menguasai daerah pesisir barat Sumatera. Namun usaha ini tidak berhasil, justru Inggris menjual senjatanya kepada kaum Padri.
Keadaan berubah ketika pesisir Barat Sumatera, sesuai dengan perjanjian London dikembaikan ke pihak Belanda. Dalam perjanjian tahun 1821 antara Belanda dengan kaum adat, Belanda berjanji membantu kaum adat untuk menguasai dan mengalahkan kaum Padri. Sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, akhirnya Belanda melancarkan serangan dan berperang dengan kaum Padri di Sumatera Barat.
Peperangan terjadi cukup lama dan ketika perang itu terjadi, sosok Muhammad Shahab telah tumbuh menjadi seorang ulama terkemuka. Diantara pertentangan antara kaum adat dengan kaum Padri, beliau lebih memihak kaum Padri dan ditunjuk sebagai pemimpinnya. Perangpun terjadi, namun pasukan kaum adat tidak berhasil menaklukkan pasukan kaum Padri. Karena hal tersebut, akhirnya pada tahun 1824 Belanda berpura-pura melakukan perjanjian damai dengan kaum Padri. Perjanjian itu dikenal dengan perjanjian Masang. Namun setelah perjanjian itu terjadi, justru Belanda menyerang wilayah Negeri Pandai Serikat, yang pada saat itu pula Belanda sedang melakukan perang dengan Diponegoro. Sehingga Belanda tidak berhasil memenangkan daerah tersebut. Namun setelah perang Diponegoro usai, dengan sigap Belanda menyerang Sumatera Barat mengirim Jumlah pasukan yang lebih besar.
Kekuatan pasukan kaum Padri telah dikerahkan sepenuhnya, namun karena jumlah pasukan yang tidak berimbang, satu persatu wilayahnya yang dahulunya dikuasai kaum padri berhasil direbut oleh Belanda. Pada tahun 1832, kaum Padri berhasil merebut kembali daerah yang telah dikuasai sebelumnya. Tetapi Belanda tidak menyerah untuk menguasai daerah Sumatera Barat dan mengirim pasukan dengan jumlah lebih besar, yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Periode berlanjut hingga Belanda mengganti panglima perangnya sebanyak tiga kali. Kedudukan Imam Bonjol semakin sulit. Hingga akhirnya pada tahun 1837, Imam Bonjol serta pasukan menyerah dan Belanda berhasil menguasai Sumatera Barat.
Wafatnya Tuanku Imam Bonjol
Setelah Belanda berhasil menguasai Sumatera Barat, Tuanku Imam Bonjol diasingkan ke beberapa wilayah di Indonesia yaitu di Cianjur, Jawa Barat dan tempat pengasingan terakhirnya di Sulawesi Utara. 6 November 1864 beliau wafat, dimakamkan di Desa Lotta, Kecamatan Pinelang, Kabupaten Minahasa.
Penghargaan Perjuangan Melawan Penjajah
Pahlawan Nasional
Sebagai Bentuk apresiasi dari perjuangan Tuanku Imam Bonjol, pemerintah Indonesia memberikan penghargaan yaitu Berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, 6 November 1973. beliau mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Potretnya juga digunakan sebagai ikon uang kertas lima ribuan pada tahun 2001, namanya banyak digunakan sebagai nama jalan, nama museum, nama tempat dll.
Museum Tuanku Imam Bonjol
Museum Tuanku Imam Bonjol, merupakan museum yang dibuat untuk mengenang jasa-jasa dan perjuangan beliau. Terletak di Jalan Lintas Tengah Sumatera, Ganggo, Hilia, Bonjol, Pasaman, dibangun pada tahun 1987-1990. Museum ini, memiliki berbagai koleksi benda bersejarah yang dapat dijadikan sebagai edukasi mengenang perjuangan melawan para penjajah.
Museum ini, memiliki dua Lantai yang mana lantai pertama digunakan sebagai tempat untuk koleksi pribadi, seperti senjata tunggal yang digunakan untuk perang melawan penjajah dan lukisan-lukisan. sedangkan pada lantai dua digunakan sebagai tempat koleksi benda-benda kuno yang berhubungan dengan suku minangkabau, seperti pakaian adat, keramik kuno, dan peralatan kuno.
Harga Tiket masuk ke museum cukup murah yaitu Rp. 5000. Jam operasional museum ini mulai pukul 08.00 WIB – 18.00 WIB, buka pada hari Senin hingga hari Jumat. Museum ini banyak sekali dikunjungi oleh para pelajar dan mahasiswa untuk wisata edukasi.
Baca juga: Pangeran Diponegoro: Biografi Sang Pemimpin Perang
Tidak ada komentar