1. Cerita Rakyat

Asal Usul Legenda Rawa Pening: Kisah dan Pesan Moralnya!

Wah, kamu tahu nggak? Ada danau yang terkenal di Semarang, namanya Rawa Pening! Pastinya, kamu penasaran dong dengan cerita legenda atau asal-usulnya? Di Museum Nusantara, kita akan bahas cerita legenda Rawa Pening secara lengkap. Yuk, simak informasi selengkapnya di sana!

Asal Usul Legenda Rawa Pening

Cerita asal usul Rawa Pening bermula ketika dahulu kala terdapat sebuah desa bernama Ngasem yang terletak di lembah antara Gunung Telomoyo dan Gunung Merbabu, Semarang, Jawa Tengah. Di desa tersebut tinggal sepasang suami-istri bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta.

Masyarakat sekitar sangat menghormati pasangan suami istri ini karena mereka terkenal ramah dan suka menolong orang lain. Namun hidup Ki Hajar dan Nyai Selakanta belum lengkap karena belum dikaruniai seorang anak. Pasangan ini menunggu dengan sabar kesempatan mereka untuk diberi momongan.

Pada suatu hari, Nyai Selakanta duduk termenung di depan rumahnya. Ki Hajar yang melihat istrinya merenung, datang menghampirinya dan menanyakan apa yang sedang dipikirkan oleh sang istri. Nyai Selakanta menyampaikan kepada Ki Hajar bahwa Ia ingin memiliki anak.

Artikel Terkait

    Feed has no items.

Ki Hajar yang mendengarkan keinginan istri tercintanya ini, kemudian meminta izin untuk bertapa kepada istrinya. Ki Hajar kemudian pergi ke lereng Gunung Telomoyo untuk bertapa pada keesokan harinya. Nyai Selakanta menunggu suaminya dengan sabar sampai suaminya datang kembali dari pertapaannya.

Kelahiran Baro Klinthing, Sang Tokoh Utama Rawa Pening

Ilustrasi Legenda Rawa Pening saat Baro Klinthing mencabut lidi
Ilustrasi Legenda Rawa Pening (Sumber: Cerita Rakyat Nusantara)

Legenda Rawa Pening selanjutnya adalah ketika Baro Klinthing lahir. Secara tiba-tiba, Nyai Selakanta merasa mual dan kemudian muntah-muntah. Ia berpikir bahwa saat itu Ia sedang hamil. Dugaannya benar dan semakin hari, perut Nyai Selakanta semakin membesar.

Setelah mengandung 9 bulan lamanya, tibalah hari untuk melahirkan. Alangkah terkejutnya Nyai Selakanta melihat anak yang Ia lahirkan. Nyai Selakanta melahirkan seekor naga. Anak tersebut kemudian diberi nama Baro Klinthing, yang mengambil nama dari salah satu pusaka suaminya.

Meskipun Baro Klinthing memiliki wujud naga, Ia dapat berbicara layaknya manusia. Nyai Selakanta terheran-heran saat melihat keajaiban ini. Pada dasarnya, Nyai Selakanta merasa malu ketika melahirkan anak berwujud seekor naga. Ia berencana untuk membawa Baro Klinthing ke Bukit Tugur supaya jauh dari para warga.

Sebelum menuju ke Bukit Tugur, Nyai Selakanta harus merawat Baro Klinthing sampai Ia besar supaya dapat menempuh perjalanan ke lereng Gunung Telomoyo yang jaraknya cukup jauh. Nyai Selakanta merawat Baro Klinthing tanpa sepengetahuan warga sekitar.

Baro Klinthing kemudian tumbuh menjadi remaja dan menanyakan tentang keberadaan ayahnya. Nyai Selakanta yang merasa Baro Klinthing sudah saatnya untuk mengetahui sosok ayahnya kemudian menceritakan tentang Ki Hajar yang saat ini sedang bertapa.

Nyai Selakanta menyuruh Baro Klinthing untuk menyusul sang ayah yang bertapa di lereng Gunung Telomoyo. Ia meminta supaya anaknya membawa tombak pusaka milik Ki Hajar yang juga bernama Baro Klinthing. Baro Klinthing membawa tombak pusaka ini supaya dapat memberikan bukti pada ayahnya bahwa Ia adalah ayah dari Baro Klinthing.

Keraguan Sang Ayah Terhadap Baro Klinthing

Legenda Rawa Pening kemudian berlanjut ketika Baro Klinthing bertemu ayahnya. Baro Klinthing kemudian berangkat menuju lereng Gunung Telomoyo untuk bertemu Ki Hajar, ayahnya. Ia kemudian melihat seseorang sedang duduk bertapa dan langsung bersembah sujud di depannya. Ia menjelaskan bahwa Baro Klinthing adalah anak dari Ki Hajar dan Nyai Selakanta.

Tentu saja, Ki Hajar tidak percaya jika Ia memiliki anak berwujud naga. Baro Klinthing kemudian menunjukkan tombak pusaka dan Ki Hajar mulai sedikit percaya, tapi belum secara sepenuhnya. Ki Hajar kemudian menyuruh Baro Klinthing untuk melingkari Gunung Telomoyo.

Hal tersebut dapat dilakukan oleh Baro Klinthing dengan mudah berkat kesaktiannya. Ki Hajar akhirnya percaya bahwa naga tersebut adalah anaknya yang lahir dari rahim Nyai Selakanta. Ki Hajar kemudian memerintahkan anaknya untuk bertapa di Bukit Tugur supaya tubuhnya berubah menjadi manusia seutuhnya.  

Di sisi lain, terdapat suatu desa bernama desa Pathok. Menurut legenda Rawa Pening, Desa ini sangat makmur, tapi para penduduknya memiliki sifat yang sangat angkuh. Penduduk berniat untuk mengadakan pesta sedekah bumi. Berbagai makanan lezat disajikan untuk menjadi hidangan bersama warga Desa Pathok.

Warga desa kemudian pergi berburu ke Bukit Tugur. Mereka melihat seekor naga yang sedang bertapa. Naga itu sendiri adalah Baro Klinthing. Para warga desa kemudian menangkap naga tersebut dan memotong-motong dagingnya yang lalu dibawa pulang ke desa. Daging naga ini kemudian mereka masak dan menjadi hidangan untuk pesta panen.

Ketika warga desa sedang berpesta, datang seorang anak laki-laki yang penuh luka pada tubuhnya dan memiliki bau yang amis. Anak laki-laki ini adalah penjelmaan Baro Klinthing. Baro Klinthing bergabung ke dalam keramaian dan meminta makanan kepada warga, tapi tidak ada satupun warga yang mau memberinya makan. Bahkan, para warga memaki-maki dan mengusir Baro Klinthing karena baunya yang tidak sedap.

Pertemuan dengan Seorang Janda Tua

Singkat cerita, Baro Klinthing pergi meninggalkan desa. Ia kemudian bertemu seorang janda tua bernama Nyi Latung di tengah perjalanan. Nyi Latung kemudian mengajak Baro Klinthing untuk ke rumahnya dan memberikan hidangan yang lezat.

Baro Klinthing yang melihat perilaku warga desa dan kebaikan Nyi Latung merasa bahwa warga desa perlu diberi pelajaran. Ia meminta Nyi Lantung untuk menyiapkan alat penumbuk padi jika mendengar gemuruh.

Baro Klinthing kemudian berjalan kembali ke pesta panen tersebut dengan membawa sebatang lidi. Ia kemudian menancapkan lidi itu ke tanah dan meminta warga untuk mencabut lidi tersebut. Para warga beramai-ramai mencoba, tapi tidak ada yang dapat mencabut lidi tersebut.

Baro Klinthing kemudian mencabut lidi tersebut dengan sangat mudah. Seketika itu suara gemuruh muncul dan menggelegar di seluruh desa. Air menyembur keluar dari bekas lidi tersebut ditancapkan. Semburan air semakin membesar sampai menimbulkan banjir besar.

Penduduk desa berlarian berusaha menyelamatkan diri tapi usaha tersebut gagal karena desa sudah tenggelam. Desa tersebut kemudian berubah menjadi danau yang kita kenal sebagai Rawa Pening.

Pada akhir legenda Rawa Pening diceritakan bahwa Baro Klinthing kemudian menemui Nyi Latung yang sudah menunggu di atas lesung yang berfungsi sebagai perahu. Nyi Latung adalah warga desa satu satunya yang berhasil selamat dari banjir tersebut. Baro Klinthing kemudian kembali menjelma menjadi naga dan menjaga Rawa Pening.

Pesan Moral Cerita Legenda Rawa Pening

Pesan moral dari legenda Rawa Pening adalah kesabaran, kepercayaan, dan kasih sayang. Ki Hajar dan Nyai Selakanta menunggu dengan sabar untuk memiliki seorang anak dan mereka merawat Baro Klinthing dengan penuh kasih sayang meskipun berbeda dengan anak-anak manusia pada umumnya. Lebih lanjut, ketika Baro Klinthing menemukan ayahnya, ia membutuhkan kepercayaan ayahnya pada dirinya dan tombak pusaka sebagai bukti bahwa ia adalah putranya. Hal ini menunjukkan pentingnya kepercayaan dan kesabaran dalam membangun hubungan yang kuat.

Selain itu, beberapa pesan moral dari cerita rawa pening antara lain:

  1. Ketekunan dan kesabaran dalam menjalani kehidupan adalah kunci untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.
  2. Setiap orang memiliki keajaiban (bakat) dalam dirinya, meskipun terkadang sulit untuk dipahami oleh orang lain.
  3. Orang tua harus selalu mencintai dan merawat anaknya, terlepas dari apapun keadaannya.
  4. Jangan meremehkan seseorang hanya karena penampilannya, karena setiap orang memiliki potensi yang besar.
  5. Percaya pada diri sendiri dan kemampuan yang kita miliki adalah penting dalam mencapai tujuan hidup.
  6. Keraguan terhadap orang lain dapat diatasi dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk membuktikan diri. 

Demikian pembahasan Museum Nusantara tentang legenda Rawa Pening. Dari cerita legenda Rawa Pening, kita dapat mengambil pesan moral bahwa kita tidak boleh bertindak semena-mena pada orang yang memiliki kekurangan dan lebih menghargai orang lain.

Baca juga: Dongeng Nusantara Cerita Cindelaras dan Pesan Moralnya!

Tidak ada komentar

Komentar untuk: Asal Usul Legenda Rawa Pening: Kisah dan Pesan Moralnya!

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    ARTIKEL TERBARU

    Sejarah wayang  orang sriwedari sudah terbilang sangat panjang. Wayang orang sriwedari sudah melakukan pentas secara tetap pada tahun 1911. Selain menampilkan cerita pewayangan, wayang orang sriwedari juga memiliki segmen khusus yang biasanya membahas isu-isu sosial yang sedang umum dibicarakan. Buat kamu yang masih belum tahu tentang sejarah wayang orang sriwedari, yuk simak artikel ini sampai […]
    Gamelan Banyuwangi merupakan salah satu alat musik tradisional yang mengiringi tari gandrung dan mendapatkan pengaruh dari Jawa, Bali, dan Eropa. Hal ini membuat sejarah gamelan Banyuwangi menarik untuk dikupas tuntas. Oleh karena itu, simak pembahasan selengkapnya melalui artikel berikut ini.  Sejarah Gamelan Banyuwangi Gamelan Banyuwangi adalah bentuk seni gamelan yang berasal dari daerah Blambangan atau […]

    Trending

    Kebanyakan masyarakat lebih mengenal Nusa Penida, sebagai kawasan wisata alamnya yang terletak di tenggara Bali. Ternyata, Kawasan ini menyimpan kekayaan sejarah yang tak kalah menarik dengan keindahan alamnya yang memukau. Dengan membaca artikel ini, kamu bukan hanya sekadar menambah pengetahuan saja, namun sekaligus menyusuri peristiwa masa lalu di Nusa Penida. Legenda dan Mitos Nusa Penida […]
    Wayang Golek adalah seni pertunjukan tradisional Indonesia yang menggunakan boneka kayu untuk memerankan cerita-cerita yang berasal dari berbagai sumber, termasuk epik Hindu, seperti Ramayana dan Mahabharata, serta cerita-cerita lokal dan agama.  Wayang Golek tidak hanya menunjukkan seni pertunjukan tradisional Indonesia, tetapi juga menjadi simbol penting dalam melestarikan identitas budaya bangsa. Untuk memberi pemahaman mendalam terkait […]
    Di antara ragam wayang di budaya Nusantara, sejarah wayang purwa menonjol sebagai yang tertua dan paling populer. Dikenal sebagai wayang tertua di Indonesia, wayang kulit ini telah memikat hati masyarakat selama berabad-abad.  Popularitasnya tak lepas dari dukungan etnis Jawa yang mendominasi Indonesia. Tak heran, jika sekilas mendengar kata wayang, ingatan kita langsung tertuju pada wayang […]