Wali Songo merupakan kumpulan para ulama terdiri dari sembilan orang yang basis dakwahnya berada di Pulau Jawa. Salah satu anggota dari Wali Songo adalah Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga dapat dikatakan sebagai anggota dari Wali Songo yang memiliki kisah terbilang paling unik dibanding dengan sunan lainnya. Seperti apa ceritanya, sudah Munus rangkum sebagai berikut.
Biografi Sunan Kalijaga
Daftar Isi
Lahir dari latar belakang keluarga yang tidak biasa, Sunan Kalijaga lahir di keluarga bangsawan. Memiliki nama asli Raden Syaid, beliau merupakan putra dari Adipati Tuban Tumenggung Wilaktika atau biasa dikenal dengan sebutan Raden Sahur. Perkiraan tahun kelahiran dari Raden Said adalah sekitar tahun 1450, di Tuban.
Sebagai orang asli jawa, Raden Said sangat menjunjung tinggi adat istiadat yang berkembang di pulau jawa. Hal tersebut dapat dilihat dari cara berpakaian beliau yang khas jawa dengan memakai baju adat surjan serta blangkon. Dengan demikian, Raden Said juga dapat berinteraksi dengan masyarakat secara langsung.
Sebagai anak seorang adipati, Raden Said tidak pernah merasa kekurangan dalam masalah kebutuhan materi. Namun, melihat rakyatnya yang hidup serba kekurangan dikarenakan upeti yang tinggi membuat hati nuraninya tergerak untuk membantu mereka. Akan tetapi, jalan yang ditempuh untuk membantu rakyat miskin adalah dengan cara merampok para bangsawan kaya yang pelit.
Ketika Raden Said muda sedang beraksi untuk merampok di salah satu kediaman bangsawan yang pelit, tak disangka beliau ditangkap oleh para pengawal. Raden Sahur yang notabene adalah ayah dari Raden Said, mendengar berita tersebut dan marah besar sehingga Raden Said diusir dari Kadipaten Tuban. Raden Said pu pergi sesuai dengan perintah sang ayah.
Kisah Sunan Kalijaga
Setelah diusir dari daerah Tuban, Sunan Kalijaga tidak putus asa. Beliau tetap menjalankan aksinya dalam membantu rakyat dengan cara yang sama, yaitu merampok. Namun, dikarenakan beliau telah diusir dari tanah kelahirannya maka beliau bermukim di daerah hutan.
Di kemudian hari, Raden Said melihat seorang lelaki tua yang membawa tongkat emas dan berniat untuk merampoknya. Melihat benda yang dibawa oleh orang tua itu, yang mana nantinya diketahui sebagai Sunan Bonang, beliau tanpa basa basi langsung menyerang dan berhasil mengalahkannya. Beliau mengancam lelaki tua tersebut untuk menyerahkan harta bendanya jikalau ingin selamat.
Sunan Bonang yang tidak merasa terancam sedikit pun menolak untuk menyerahkan harta bendanya dan menunjukkan ikromahnya yaitu beliau dapat mengubah sesuatu menjadi emas. Melihat hal itu, Raden Said muda terkejut dan menceritakan alasan sebenarnya beliau melakukan aksi perampokan tersebut. Setelah mendengar ceritanya, Sunan Bonang tetap tidak mengindahkan apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga meskipun hal tersebut memiliki tujuan yang baik.
Pada saat itu pula Raden Said muda meminta izin untuk berguru kepada Sunan Bonang. Sebagai syarat untuk menjadi muridnya, Sunan Bonang meminta Raden Said muda untuk bersemedi di pinggir kali hingga nanti beliau datang lagi. Sehingga dari kejadian tersebutlah nama Kalijaga diambil yang memiliki arti penjaga kali.
Ajaran Sunan Kalijaga
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwasanya Sunan Kalijaga menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional yang ada di masyarakat. Maka dengan hal itu pula lah perjalanan dakwah beliau berproses. Menggunakan hal-hal yang saat itu digandrungi oleh masyarakat sekitar yaitu berupa kesenian dan kearifan lokal.
Berdakwah melalui bidang kesenian, Sunan Kalijaga menggunakan wayang dan gamelan sebagai medianya. Wayang yang dahulu nya berbentuk selayaknya manusia dimodifikasi sedemikian rupa oleh beliau agar tidak persis menyamai makhluk hidup. Seperti contoh di mana mata dari wayang tersebut dibuat melotot serta tangan yang dibuat memanjang hingga kali wayang tersebut. Cerita yang dibawakan pun dirubah menjadi kisah yang mengandung nilai-nilai Islam bukan seperti dahulu yang berupa cerita Ramayana dan Mahabarata.
Bentuk lainnya yaitu berupa tembang. Syairnya yang berisikan nilai-nilai Islam disertai dengan nada yang mampu menarik minat orang yang mendengarnya merupakan nilai tambah dalam proses dakwah beliau. Salah satu tembang yang sampai saat ini masih lestari berjudul lir-ilir dan lingsir wengi tembang tersebut sangat terkenal khususnya di daerah Jawa.
Tembang lir-ilir sendiri mengandung himbauan kepada umat Islam agar tidak berlarut-larut dalam keterpurukan, bangkit dari rasa malas, dan mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan tembang lingsir wengi biasanya dilantunkan ketika menjelang tengah malam yaitu waktu untuk shalat malam atau tahajjud. Makna yang terkandung dari lingsir wengi adalah ajakan untuk bermunajat kepada Allah di sepertiga malam agar terhindar dari gangguan makhluk halus atau setan. Jadi, fungsinya bukan sebagai pemanggil setan seperti cerita yang berkembang di masyarakat.
Selain itu, Sunan Kalijaga juga berdakwah melalui akulturasi budaya. Sebagai contoh, budaya tahlilan yang mana bukan merupakan ajaran Islam asli, tetapi akulturasi antara budaya Hindu Budha dengan Islam. Yang membedakan adalah bacaannya menggunakan bahasa Arab serta bermunajat kepada Allah sebagai Tuhan.
Tak bisa dipungkiri bahwasanya Sunan Kalijaga telah menanamkan nilai-nilai kreatif, agamis, serta produktif selama masa dakwahnya. Sehingga, cara berdakwahnya pun dapat menyerap nilai-nilai akulturasi budaya dari masyarakat sekitar tanpa menyapu bersih kearifan lokal yang sudah ada. Dengan hal tersebutlah Sunan Kalijaga dikenang sebagai corak pendekatan dakwahnya.
Kesimpulan
Termasuk salah satu anggota Wali Songo yang memiliki kisah hidup cukup nyentrik, Sunan Kalijaga melaksanakan dakwahnya dengan media yang cukup unik pula. Menanamkan nilai kehidupan untuk selalu menghargai orang lain, beliau menempuh jalur dakwah dengan akulturasi budaya sehingga tidak menghilangkan budaya asli dari suatu masyarakat. Untuk itulah, sebagai umat muslim hendaknya kita tetap menghargai perbedaan antar sesama manusia.
Tidak ada komentar