Serat Darmogandul adalah serat yang berisi dialog tokoh-tokoh jaman dahulu berbentuk puisi tembang macapat. Serat ini biasanya digunakan sebagai bahan studi sejarah, terutama terkait keruntuhan Majapahit. Selain itu, terdapat juga cerita tentang Prabu Brawijaya yang berubah kepercayaan dari agama Buddha ke agama Islam.
Serat Darmogandul ini mengambil ide cerita dari serat Babad Kadhiri. Meskipun merupakan plagiasi dari serat Babad Kadhiri, namun tampaknya serat ini ditulis dengan motif tertentu yaitu keberpihakan penulisnya terhadap pemerintah kolonial Belanda serta kecenderungan terhadap misi Kristen di tanah Jawa. Akan tetapi, Serat Darmogandul ini dilarang untuk beredar karena dianggap bermuatan penghinaan terhadap Islam.
Penulis Serat Darmogandul
Daftar Isi
Serat Darmogandul pertama kali diterbitkan Redaksi Almanak H. Bunning, Yogyakarta, pada tahun 1920. Lalu pada tahun 1959, T.B Sadu Budi Solo menerbitkan Serat Darmogandul versi prosa. Tidak jelas siapa penulis dari Darmogandul. Pada seri yang diterbitkan oleh Dahara Prize disebutkan nama penulisnya adalah Ki Kalamwadi, namun itu merupakan nama samaran (kalam berarti pena, wadi berarti rahasia : “penulis yang merahasiakan namanya”).
Menurut M. Hari Soewarno penulis dari Darmogandul adalah Ronggowarsito, sastrawan Jawa terkenal dari Keraton Surakarta. Namun klaim ini diragukan, karena Ronggowarsito akan mencantumkan kalimat yang digunakan untuk menyiratkan namanya atau disebut “Sandi Asma” dalam setiap karyanya. Sedangkan pada Darmogandul tidak ditemukan “Sandi Asma” seperti pada karya-karya yang lainnya. Terlebih, terdapat bukti yang menyatakan bahwa Ronggowarsito adalah seorang santri. Sehingga mustahil bagi serang santri untuk menulis hal yang berbau porno di dalam karyanya.
Selain itu, menurut Prof. Dr. G.W.J. Drewes (The Struggle between Javanism and Islam as Illustrated by the Serat Dermogandul dan Javanese Poems Dealing with or Attributed to the Saint of Bonang) kitab Darmogandul merupakan buah tulisan seorang bangsawan tinggi di Kediri dan bersumber dari Babad Kadhiri (1873).
Sementara, menurut Prof. Dr. H.M. Rasjidi, dalam Islam dan kebatinan, Pangeran Suryonegoro selaku putra dari Hamengkubuwana VII adalah penulis serat Darmogandul. Rasjidi mengatakan bahwa terdapat beberapa kata Belanda seperti klacht (kelah) dalam serat. Ia berfikir bahwa Darmogandul ditulis pada zaman penjajahan Belanda.
Baca juga: Kerajaan Majapahit: Sejarah, Raja, dan Peninggalan
Isi Serat Darmogandul
Isi Serat Darmogandul menceritakan tentang perubahan kepercayaan orang Jawa dari agama Budha ke agama Islam. Serta kisah berdirinya Kerajaan Islam Demak dan runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Sebagai awalan, terdapat dialog antara Darmogandul dan Ki Kalamwadi. Darmogandul bertanya kepada Kalamwadi tentang bagaimana orang Jawa meninggalkan agama Budha dan berubah menganut agama Islam. Ki Kalamwadi memberikan informasi berdasarkan penjelasan dari gurunya (Raden Budi). Kalamwadi mulai menceritakan kepada Darmogandul bagaimana sejarahnya, mulai dari awal kerajaan Majapahit yang sebelumnya bernama Majalengka hingga keruntuhan Majapahit dan berdirinya Kesultanan Demak.
Bermula dari raja Kerajaan Majapahit yaitu Prabu Brawijaya yang jatuh hati terhadap Putri Cempa yang pada saat itu menganut agama Islam. Prabu Brawijaya pun mulai tertarik dan penasaran terhadap agama Islam setelah beberapa kali Sang Putri bercerita kepadanya. Setelah itu, pengikut Putri Cempa bernama Sayid Rakhmat datang ke Majalenka. Ia meminta izin kepada Raja untuk menggelar penyebaran syariat agama Islam. Sang Raja pun mengabulkan permintaannya. Penyebaran agama Islam terus berkembang, dan semakin banyak orang yang berpindah kepercayaan dari agama Budha ke agama Islam.
Selain itu, di ceritakan juga tentang keruntuhan Kerajaan Majapahit yang disebabkan oleh serangan dari Adipati Demak bernama Raden Patah yang sebenarnya masih merupakan putra dari Prabu Brawijaya. Menurut kitab Darmogandul, Raden Patah diprovokasi oleh para ulama yang dipimpin Sunan Giri dan Sunan Bonang yang tergabung dalam majlis dakwah wali sangah untuk merebut takhta kerajaan dari ayahnya yang masih kafir, karena memeluk agama Buddha. Rencana ini berhasil dan Majapahit berhasil runtuh. Sayangnya, Prabu Brawijaya berhasil meloloskan diri. Hingga akhirnya digantikannya Majapahit dengan berdirinya Kesultanan Demak.
Hampir seluruh isi Serat Darmogandul ini merupakan turunan dari cerita Babad Kadhiri yang ditulis pada 1832. Hal ini juga disetujui oleh G.W.J Drewes, seorang orientalis Belanda, ia mengungkapkan bahwa Babad Kadhiri menyiapkan tema utama dan ide bagi penulisan buku Darmogandul.
Kontroversi: Sinisme Terhadap Islam?
Serat Darmogandul adalah buku yang banyak mengandung kontroversi. Terutama tentang pembahasan masuknya Islam ke tanah Jawa. Buku Darmogandul ini banyak memiliki kesalahan data dalam mengungkap fakta sejarah. Seperti, cerita keruntuhan Kerajaan Majapahit yang disebabkan oleh serangan Raden Patah yang masih merupakan anak dari Prabu Brawijaya dan dianggap sebagai anak durhaka. Yang pada kenyataanya Raden Patah hanyalah merebut kekuasan Girindrawardana yang sebelumnya telah memporak-porandakan Majapahit.
Selain itu, pada buku ini juga membahas tentang “budi buruk” para ulama yang diberi izin untuk menyebarkan Islam di wilayah Majapahit, namun saat Islam sudah menjadi besar mereka balik menyerang Majapahit dan melupakan budi baik sang Raja. Hal itu diperjelas dengan ekspresi penulisan Darmogandul dalam mengartikan kata wali adalah walikan (balikan) yang artinya diberi kebaikan namun membalas dengan keburukan.
Kontroversi yang lain yaitu penyajian pikiran-pikiran tentang seks yang digunakan sebagai penafsiran materi ajaran Islam pada kedudukan pornografis. Didalam buku ini juga sebelumnya menyatakan pendapat bahwa babi dan anjing lebih baik dari kambing curian dan penghinaan dengan gaya jarwodosok terhadap quran. Jarwodosok merupakan gaya bahasa penulisan atau bahasa lisan khas para pelawak jawa (mencari persamaan bunyi yang cenderung lucu atau porno). Terdapat kalimat-kalimat lain yang juga menunjukan penghinaan terhadap Islam.
Karena itu, Buku Darmogandul ini dilarang beredar. Namun, pada akhirnya diterbitkan kembali dengan menghapus beberapa bagian yang dapat menimbulkan kontroversi serta diberikan kata pengantar atau catatan agar pembaca mengerti dan tidak menyalah artikan isi dari buku tersebut.
Baca juga: Aksara Jawa: Sejarah dan Perkembangannya
Tidak ada komentar