Indonesia memiliki banyak sekali tarian tradisional. Bahkan, setiap daerah di Indonesia memiliki tarian khas daerahnya sendiri. Salah satunya adalah tari Maengket. Tarian asli daerah Sulawesi Utara ini cukup terkenal di daerahnya dan masih dipertahankan sampai saat ini. Simak pembahasan lebih lanjutnya di artikel Museum Nusantara kali ini!
Sejarah Tari Maengket
Daftar Isi
Menurut catatan sejarah tari Maengket, nama Maengket berasal dari kata “engket” yang memiliki arti mengangkat tumit naik-turun yang kemudian diberi tambahan “ma-” yang mengubahnya menjadi menari dengan tumit naik turun.
Berbagai sumber juga mengatakan bahwa nama Maengket berasal dari kata “engket” yang berarti pasang, buka jalan dan nyalakan. Dengan diberi tambahan “ma-”, nama ini menjadi bentuk kata kerja. Oleh sebab itu, Tarian Maengket memiliki arti sebagai kegiatan yang bertujuan untuk menyatukan masyarakat, membuka jalan, dan menerangi.
Tari Maengket berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara dan sudah ada sejak masyarakat suku Minahasa mengenal sistem pertanian, lebih tepatnya sekitar abad ke-7. Biasanya masyarakat suku Minahasa menampilkan tarian ini untuk memeriahkan upacara panen raya sebagai bentuk ucapan rasa syukur kepada Tuhan karena telah memberikan hasil panen yang melimpah.
Tarian ini biasanya dilakukan secara massal atau berpasangan, terdiri dari 20-30 penari laki-laki dan wanita yang berpasangan. Satu penari akan menjadi pemandu tari. Tarian Maengket sampai saat ini masih dilestarikan dan ditampilkan dalam berbagai acara seperti pentas budaya, panen raya, maupun pesta pernikahan.
Makna Tari Maengket
Pada zaman dahulu, nenek moyang suku Minahasa memainkan tari tradisional Maengket ketika panen padi. Dengan tarian gerakan sederhana, tarian ini ditampilkan bersama iringan gendang atau tambur. Selain saat panen, tari Maengket juga ditampilkan dalam acara tertentu, seperti Meraba, Melaya, Masambo, Makamberu, dan Metabak.
Tarian ini memiliki makna sebagai ucapan syukur kepada Tuhan karena telah diberikan panen yang melimpah. Selain bermakna sebagai ucapan rasa syukur, tari ini juga menggambarkan keseharian dari masyarakat suku Minahasa. Saat ini, tarian ini biasa ditampilkan sebagai hiburan pada festival budaya, acara pernikahan, dan panen raya.
Gerakan Tari Maengket
Gerakan tari tradisional ini mayoritas membentuk gerak yang gemulai serta gerak kaki yang berjinjit-jinjit. Dapat dikatakan gerak tari ini cukup sederhana dan mudah dilakukan, tapi perlu dilakukan secara serentak dan kompak. Pemimpin tarian memiliki gerakan yang berbeda dan memiliki kostum yang mencolok jika dibandingkan penari lainnya.
Terdapat tiga babak dalam penampilan Maengket, berikut adalah ketiga babaknya:
1. Maowey Kamberu
Pada babak Maowey Kamberi, pemimpin tari menjentikkan jari sebagai bentuk undangan kepada sang dewi untuk turun ke bumi. Gerakan menjentikkan jari ini juga menjadi tanda bahwa tarian akan dimulai. Gerakan ini menunjukkan bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah.
2. Marambak
Babak kedua yang memiliki nama Marambak berasal dari kata “rambak” yang memiliki arti menghentakkan kaki ke lantai. Babak ini menggambarkan semangat gotong royong dari masyarakat suku Minahasa. Pada zaman dahulu, masyarakat Minahasa bahkan membangun rumah dengan cara gotong royong dan bergantian. Biaya dan tenaga akan ditanggung bersama-sama oleh masyarakat sebagai bentuk penguat ikatan persaudaraan antara masyarakat Minahasa.
3. Lalayaan
Babak ketiga dalam tarian ini adalah Lalayaan. Pada babak ketiga ini, terdapat penggambaran antara laki-laki dan perempuan Minahasa yang mencari jodoh. Semua penari akan bergandengan tangan membentuk formasi lingkaran dan berhadap-hadapan antara penari laki-laki dan perempuan. Lalayaan sendiri menceritakan tentang seorang laki-laki yang merayu perempuan dengan meletakkan sapu tangan (lenso) di atas bahu perempuan.
Properti Tari Maengket
Properti yang menjadi ciri khas dari tari ini adalah sapu tangan yang dipegang oleh setiap penari. Busana atau kostum yang dipakai oleh para penari ketika menampilkan tari Maengket berupa pakaian adat Minahasa. Penari perempuan memakai busana kebaya putih yang berhias renda serta bawahan berupa kain panjang khas Minahasa dengan rambut yang diberi konde dan hiasan.
Biasanya, penari perempuan juga memakai aksesoris seperti anting-anting dan kalung. Penari pria menggunakan busana lengan panjang model baniang (baju adat khas Minahasa), celana panjang, serta ikat kepala bermotif gunung. Pemimpin tari menggunakan busana baju tradisional Minahasa dengan warna cerah, seperti warna kuning, hijau, merah, atau biru. Semua penari termasuk pemimpin tarian tidak akan memakai alas kaki ketika menampilkan tari Maengket.
Musik Pengiring Tari Maengket
Pada setiap penampilannya, tari Maengket akan diiringi dengan tabuhan gendang yang juga disebut tambur. Gendang atau tambur yang digunakan sebagai pengiring adalah tambur berukuran sedang dan besar. Seiring perkembangan zaman, musik pengiring juga menggunakan bonang, serta tetengkoren (alat komunikasi suku Minahasa zaman dahulu yang terbuat dari bambu).
Selain musik, tarian ini juga diiringi dengan sebuah lagu yang merupakan syair yang dinyanyikan sendiri oleh para penari. Syair yang dinyanyikan tersebut menceritakan tiga babak gerakan dalam Maengket. Bahasa yang digunakan dalam syair juga bukan hanya berasal dari satu bahasa saja. Pencipta syair ini antara lain adalah Samuel Assa, Jan Rumagit, dan Johanis Posumah.
Demikian pembahasan Museum Nusantara mengenai sejarah, makna, properti, dan musik pengiring dari tari Maengket. Semoga penjelasan kali bermanfaat untuk kalian dan menambah wawasan kalian tentang tradisi-tradisi Indonesia!
Tidak ada komentar