Tari Indang atau yang dikenal dengan Tari Badindin adalah tari tradisional dari Minang, Pariaman, Sumatera Barat. Kali ini Munus akan mengajak anak nusantara membahas salah satu tarian yang terkenal ini. Salah satu tarian dari beragamnya tarian nusantara dan pastinya memiliki keunikan masing-masing. Tari tradisional ini merupakan sebuah permainan alat musik yang dilakukan bersama-sama yang kini dijadikan tarian. Indang berasal dari alat musik tepuk yang bernama Indang dan dimainkan pada tarian ini. Ripai, sebutan lain dari Indang merupakan sebuah instrumen yang cara memainkan dengan dengan ditepuk. Bentuk Ripai menyerupai alat musik rebana tetapi memiliki ukuran yang lebih kecil.
Sejarah Tari Indang
Daftar Isi
Menurut beberapa versi, tarian ini merupakan hasil dari sebuah akulturasi budaya Melayu dan Islam pada masa penyebaran agama Islam di abad ke 13. Pertama kali dikenalkan oleh seorang ulama di Pariaman yang bernama Syekh Burhanudin yang telah disampaikan oleh pemuka adat dari nagari Sicincin, Padang Pariaman yang bernama Datuak Rajo Dihulu. Kemudian terjadi modifikasi tarian yang dilakukan oleh Dalin Naaman yang kemudian dikenal sebagai khalifah pertama Tari Indang.
Pada akhirnya tarian ini menjadi salah satu media dakwah. Seiring dengan perkembangannya, penyajian tarian ini dilengkapi dengan pidato atau ceramah keagamaan untuk menyampaikan poin-poin kebaikan yang akan disampaikan.
Selanjutnya bermunculan beberapa khalifah lainnya yang berperan besar dan turut andil dalam perkembangan tari tradisional ini. Pada akhirnya tarian ini dengan cepat menyebar hingga ke daerah lain, termasuk hingga ke Solok. Ketika tarian ini dikenal sampai ke Solok, terjadilah penyesuaian dengan sebutan Indang Solok oleh masyarakat setempat.
Dahulu kala, di setiap nagari di Pariaman memiliki grup tersendiri untuk kesenian Tari Indang. Tarian ini dikenal sarat akan kesakralan. Beberapa menyebutkan bahwa pada setiap kelompok memiliki kekuatan gaib yang berfungsi sebagai penjaga keselamatan di setiap grup dari kekuatan yang dapat menghancurkan kelompok yang lainnya.
Masyarakat setempat mengenal pemilihan waktu dalam menarikan tarian ini dengan sebutan Indang turun. Pada hari pertama, penyajian tari ini akan diadakan pada tengah malam sekitar pukul 11 hingga 12 malam. Memasuki hari kedua, penyajian akan dilakukan ketika hari mulai senja atau ketika selesai menunaikan ibadah shalat maghrib.
Filosofi Tari Indang
Sebagai tari yang berfungsi menjadi salah satu media dakwah, tari ini memiliki beberapa elemen pendukung yang sesuai dengan budaya Islam. Iringan tari saat dipentaskan yaitu shalawat Nabi dan syair-syair yang menyampaikan nilai-nilai Islam. Oleh karena itulah tarian ini sering ditampilkan di surau pada masa silam. Saat ini, tarian tradisional ini kerap dipentaskan di dalam upacara Tabuik atau yang dikenal dengan peringatan atas wafatnya cucu Rasulullah pada tanggal 10 Muharram yang diadakan oleh beberapa nagari di ranah Minang.
Gerakan Penari
Jika dilihat sekilas, gerak tarian ini tampak seperti Tari Saman yang berasal dari Aceh. Tari Indang memiliki gerakan yang lebih dinamis dan penari bergerak lebih santai namun tetap rancak. Lebih dari itu, pengiring tarian khas nuansa Melayu mendukung pergerakan penari dalam pementasan.
Gerakan tari ini dilakukan oleh dua kelompok penari. Gerakannya yaitu menggerakkan tangan, menepuk, dan menjentikkan jari tangan. Gerakan-gerakan yang dimiliki tidak dilakukan sembarangan, melainkan memiliki arti dan lambang tersendiri. Arti di setiap gerakannya yaitu lambang pujian yang ditujukan kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, dan para pejuang agama Islam.
Iringan Tari Indang
Tari tradisional Indang diiringi oleh 2 iringan bunyi, yang pertama adalah bunyi yang berasal dari Ripai yang dipukul, alat musik tradisional khas Melayu yang memiliki kemiripan dengan rebana dan juga gambus. Bunyi yang kedua adalah bunyi syair yang berasal dari seorang yang biasa disebut tukang dzikir. Tukang dzikir dalam tarian ini merupakan sebutan bagi seorang pemandu tari melalui syair dan lagu yang dinyanyikannya. Seiring berkembangnya zaman, saat ini pengiring musik Tari Indang semakin beragam. Alat musik modern seperti piano, akordeon, dan beberapa alat musik lainnya juga mulai digunakan dalam pementasan. Lebih dari itu, syair yang dinyanyikan lebih sering menggunakan 1 jenis saja yakni lagu Dindin Badinding yang merupakan karya dari Tiar Ramon.
Tata Rias dan Busana Penari
Tidak ada peraturan yang ketat dan banyak dalam hal tata rias dan busana dalam pementasan tarian ini. Penari wajib mengenakan busana adat Melayu yang memiliki arti dan identitas asal tari yang dibawakan, sedangkan tukang dzikir bebas mengenakan busana apapun, yang terpenting adalah busana yang dikenakan harus sopan.
Setting Panggung
Pada awalnya tarian ini hanya boleh ditarikan oleh para penari pria saja. Hal tersebut dikarenakan ajaran Islam yang tidak memperbolehkan wanita untuk ditonton oleh banyak orang karena wanita harus terjaga. Seiring berjalannya waktu, peraturan ini mulai dimodifikasi, penari wanita bisa menarikan tarian ini.
Jumlah penari dalam tarian ini beragam, dimulai dengan 7 orang, 9 orang, 11 orang, hingga 25 orang dengan sekitar 1-2 orang yang bertugas sebagai tukang dzikir. Jumlah penari bisa beragam tetapi kebanyakan tarian ini ditarikan oleh penari dengan jumlah ganjil. Para penari disebut dengan istilah anak Indang dalam budaya Minang.
Pada mulanya, para penari terdiri dari anak laki-laki berumur sekitar 7 hingga 15 tahun. Hal tersebut sesuai dengan tradisi di Sumatera Barat yang mengharuskan anak laki-laki menginap di surau untuk belajar mengaji.
Properti Tarian
Awalnya, tari tradisional ini harus dilengkapi dengan Indang atau Ripai sebagai properti wajib. Seiring dengan perkembangan zaman, tarian ini mulai dimodifikasi dengan menggantikan fungsi Ripai dengan lantai panggung yang juga dapat menghasilkan suara ketika ditepuk, sama seperti Indang atau Ripai.
Tari tradisional Indang menjadi kesenian tari yang lestari terutama di Padang Pariaman sehingga dikenal dengan sebutan Tari Indang Pariaman atau Indang Piaman. Hal yang khas dari tarian ini adalah pementasannya yang dilakukan pada malam hari dalam perhelatan nagari atau biasa dipentaskan dalam batagak kudo-kudo dan juga berbagai festival budaya lainnya.
Baca juga: Tari Serampang Dua Belas: Bertemunya Dua Sejoli
Tidak ada komentar