Aksara Jawa atau yang biasa disebut aksara Legena merupakan salah satu peninggalan aksara tradisional Indonesia. Aksara ini berkembang di Pulau Jawa dan masih digunakan serta dilestarikan sampai saat ini baik di kehidupan sehari-hari maupun diajarkan di sekolah.
Banyak hal menarik dari huruf ini mulai dari sejarah, legenda, makna yang dimiliki, sampai perkembangannya. Kali ini munus telah merangkum informasi mengenai aksara jawa secara lengkap. Mari simak informasinya lebih lanjut.
Legenda dan Sejarah
Daftar Isi
Sejarah aksara Legena tidak terlepas dari legenda yang beredar di masyarakat Jawa. Dikisahkan pada jaman dahulu, ada seorang pemuda sakti bernama Ajisaka yang berasal dari Majethi. Ia memiliki dua pengawal atau abdi, bernama Dora dan Sembada. Kedua pengawalnya pun juga sangat setia kepada Ajisaka dan sama – sama sakti.
Pada suatu hari, Ajisaka ingin pergi berkelana meninggalkan daerah asalnya, Pulau Majethi. Ia memerintahkan Dora untuk menemaninya dan meminta pengawal satunya, Sembada, agar tetap tinggal di Majethi untuk menjaga pusaka milik Ajisaka. Ia berpesan untuk tidak memberikan pusakanya kepada siapapun selain kepadanya.
Tibalah Ajisaka dan pengawalnya Dora di sebuah kerajaan bernama Medhangkamulan. Mereka berdua terheran-heran melihat suasana yang sepi. Kemudian Ajisaka bertanya kepada salah satu rakyat kerajaan. Ia mendapatkan informasi bahwa Sang Raja Medhangkamulan bernama Dewatacengkar senang memakan daging manusia. Menurut penuturan rakyat tersebut, sang raja ketagihan memakan daging manusia karena menurutnya, rasannya sangat nikmat. Setiap hari sang raja pasti meminta disuguhkan daging manusia dari rakyatnya sendiri. Rakyat kerajaan pun semakin ketakutan dengan keinginan mengerikan sang raja. Karena kegemarannya memakan daging manusia, sifatnya berubah dari yang dulunya arif dan bijaksana menjadi kejam dan bengis. Suasana kerajaan yang awalnya damai dan tentram kini menjadi kerajaan yang mencekam.
Ajisaka benar-benar terkejut mendengar informasi tersebut. Melihat para rakyat diselimuti kecemasan, akhirnya ia memutuskan untuk menyusun siasat agar dapat melepas belenggu ketakutan dari sang raja. Ia langsung menemui patih kerajaan untuk menyerahkan diri sebagai santapan raja. Awalnya patih tidak mengizinkan karena kasihan kepada Ajisaka. Namun, Ajisaka tetap memaksa dan akhirnya permintaannya dipenuhi oleh sang patih.
Kemudian ia langsung dihadapkan kepada Raja Medhangkamulan. Sang raja terheran-heran karena ada seorang pemuda yang tampan dan putih bersih ingin menyerahkan diri sebagai santapan raja. Ajisaka berkata kepada Raja Medangkamulan bahwa ia bersedia dijadikan santapan raja apabila satu permintaannya terpenuhi. Raja menyetujui permintaan Ajisaka dan menanyakan apa permintaan terakhir Ajisaka sebelum ia menjadi santapan raja.
Ternyata Ajisaka meminta kepada sang raja tanah seluas sorban dikepalannya. Ia juga memiliki permintaan agar raja yang secara langsung mengukur tanah tersebut. Raja Dewatacengkar menganggap permintaan itu remeh dan ia langsung mengukur tanah dengan sorban milik Ajisaka. Tiba-tiba sorban Ajisaka melebar panjang tak terhingga. Kain itu meluas dan mendorong raja Dewatacengkar sampai terjatuh ke pantai selatan dan ia berubah menjadi buaya putih.
Rakyat pun bahagia mendengar kabar berubahnya raja menjadi buaya, mereka sudah tidak takut lagi dijadikan santapan raja. Akhirnya, rakyat Medangkamulan menobatkan Ajisaka menjadi Raja.
Setelah menjadi raja, Ajisaka memerintahkan pengawalnya Dora pergi ke pulau asalnya, Majethi, untuk mengambilkan pusakanya. Berangkatlah Dora ke pulau Majethi. Sesampainya disana, Dora meminta pusaka kepada Sembada. Sembada mengingat pesan Ajisaka untuk tidak memberikan Pusakannya kepada siapapun selain Ajisaka. Dora yang juga mendapat perintah untuk mengambil pusaka tetap teguh pendirian untuk mengambilnya dari Sembada. Ia memaksa Sembada untuk memberikan pusaka itu kepadanya. Kedua pengawal tersebut saling beradu pendapat untuk melaksanakan perintah masing- masing. Sampai akhirnya mereka berdua bertarung. Awalnya mereka berdua saling berhati-hati saat bertarung karena yang dilawan adalah teman sendiri. Namun, akhirnya bertumpahan darah tidak dapat dielak, Dora dan Sembada tewas karena bertarung untuk melaksanakan tugas dari tuan yang sama.
Kabar tewasnya Dora dan Sembada didengar oleh Ajisaka. Ia sangat menyesali tewasnya dua pengawal setianya karena kesalahannya. Untuk mengenang kisah pertarungan kedua pengawalnya, ia membuat deret aksara, yang sampai saat ini kita kenal dengan Aksara Jawa.
Aksara Jawa Lengkap
Dalam Aksara Jawa atau huruf Hanacaraka, terdapat berbagai macam penulisan dan unsur yang digunakan. Selain itu di dalamnya memiliki makna mendalam. Inilah huruf beserta maknanya:
Ha Na Ca Ra Ka = ono wong loro (ada dua orang)
Da Ta Sa Wa La = Podho kerengen (mereka berdua berkelahi)
Pa Dha Ja Ya Nya = podho joyone (sama-sama kuatnya)
Ma ga Bha Tha Nga = mergo dadi bathang lorone (maka dari itu jadilah bangkai semuanya/ mati dua-duanya karena sama kuatnya)
Aksara Jawa dan Pasangannya
Perkembangan Aksara Jawa
Huruf Hanacaraka digunakan sejak abad ke 17 Masehi, sejak masa berdirinya kerajaan Mataram Islam. Kemudian pada abad ke 19, huruf ini dibuatkan bentuk cetakan. Aksara ini sebenarnya merupakan gabungan dari dua aksara Abugida dan Aksara Kawi yang digunakan sekitar abad 8-16. Dari bentuk strukturnya setiap Huruf Aksara Jawa dapat mewakili dua huruf. Misalnya huruf Ha, bisa mewakili huruf H ataupun huruf A. Huruf Na, mewakili huruf N dan A. Ini menjadi bukti bahwa aksara Legena berasal dari dua huruf yang digabungkan.
Periode perkembangan aksara jawa dibagi menjadi 4 periode, yaitu:
Periode Hindu
Pada masa perkembangan periode Hindu Buddha, aksara ini digunakan sebagai penerjemah bahasa Sansekerta. Tulisan-tulisan tersebut kemudian menjadi tulisan Jawa pada masa ini.
Periode Islam
Perkembangan periode Islam berlangsung sejak zaman Kesultanan Demak sampai masa Pajang akhir. Peninggalan teks terkenal pada masa ini adalah Serat Suluk Wujil dan Serat Ajisaka.
Pada periode ini juga mulai dikenalkan urutan pangram Hanacaraka agar memudahkan pengikatan 20 konsonan bahasa Jawa. Selain itu, masa periode ini ditemukan aksara Rekan yang menjadi kata serapan Bahasa Arab, seiring berjalannya syiar Agama Islam.
Periode Kolonial
Masa ini adalah masa ketika pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Perkembangan Aksara Jawa pada masa ini diwakili oleh tata tulis keluaran ejaan Sriwedari.
Periode Modern
Perkembangan periode modern dimulai dari masa setelah kemerdekaan Indonesia, sampai saat ini.
Baca juga: Gamelan Jawa: Alat Musik Tradisional Nusantara
Tidak ada komentar