Halo anak Nusantara! Sebelum berbentuk republik seperti saat ini, Indonesia pernah terbagi dalam beberapa wilayah kerajaan. Kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di Indonesia dapat dilihat melalui beberapa peninggalan yang masih dapat disaksikan sampai saat ini. Salah satu peninggalan zaman kerajaan tersebut adalah candi. Kesempatan kali ini kita akan membahas Candi Cangkuang.
Candi ini adalah salah satu candi peninggalan kerajaan Hindu di Indonesia. Simak uraian Museum Nusantara mengenai candi bercorak Hindu ini!
Mengenal Candi Cangkuang Garut, Simbol Toleransi & Akulturasi
Daftar Isi
Candi Cangkuang berada di Kabupaten Garut, lebih tepatnya di Kampung Pulo, Kecamatan Leles, desa Cangkuang. Nama Candi Cangkuang diambil dari nama desa candi ini terletak. ‘Cangkuang’ sendiri memiliki arti sebuah nama tanaman sejenis pandan yang banyak tumbuh di daerah sekitar candi.
Desa Cangkuang sendiri dikelilingi oleh 4 gunung, yaitu Gunung Kaledong, Gunung Haruman, Gunung Guntur, dan Gunung Mandalawangi. Letak dari candi ini yaitu di tengah pulau di danau Cangkuang. Karena letaknya yang berada di tengah danau yang bernama Situ Cangkuang untuk menuju candi ini diperlukan menggunakan sampan. Dari pusat Kota Garut, kalian hanya perlu menempuh jarak 3 kilometer untuk menuju kawasan ini.
Selain candi, juga terdapat makam Islam Embah Dalem Arief Muhammad, leluhur dari warga Desa Cangkuang. Tidak hanya itu, kawasan ini juga terdapat cagar budaya berupa desa adat Kampung Pulo. Jadi, dalam sekali pergi ke daerah Cangkuang kalian dapat mengunjungi 3 situs secara langsung. Terlebih lagi situs situs bersejarah ini memiliki latar belakang yang berbeda, menciptakan simbol toleransi di daerah Garut.
Toleransi yang kuat juga dapat dilihat dari masih digunakannya aturan adat meski mayoritas masyarakat sudah memeluk agama Islam. Terbukti dengan sebuah tradisi dimana setiap hari Rabu menjadi hari besar bagi masyarakat setempat. Pada hari Rabu juga, dilarang melakukan ziarah ke makam Arief Muhammad. Hari Rabu hanya untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan agama saja.
Sejarah Candi Cangkuang Garut
Untuk sejarah Candi Cangkuang dapat dipastikan sudah ada sejak abad ke-8 sebelum masehi dilihat melalui usia batu candi tersebut. Terlebih lagi, hal ini dapat dilihat dari bentuk candi yang terkesan relatif polos, tanpa relief yang menghiasi sisi candi.
Candi ini dipercayai oleh para ahli sebagai penghubung mata rantai untuk beberapa penemuan seperti Candi Dieng, Candi Gedong Songo, dan Candi Jiwa. Sebagai catatan, situs ini adalah candi pertama yang dipugar untuk mengisi kekosongan sejarah dalam periode Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Purnawarman.
Selain candi, di kawasan ini terdapat makam Islam kuno yang dipercayai sebagai makam Embah Dalem Arief Muhammad, leluhur masyarakat Kampung Pulo. Hal ini dapat dibilang sebagai hal unik karena makam ini terletak di kompleks candi peninggalan Hindu.
Arief Muhammad adalah senopati dari kerajaan Mataram Islam. Beliau kalah dalam perang melawan VOC di Batavia, lalu memilih untuk menyingkir ke daerah Lele, Kabupaten Garut. Lambat laun, beliau menyebarkan agama Islam pada masyarakat sekitar yang pada saat itu masih beragama Hindu.
Arief Muhammad menetap dan menikah dengan warga setempat. Penyebaran yang beliau lakukan juga dapat dikatakan berhasil, dapat terlihat dari beberapa penemuan seperti Al Qur’an yang terbuat dari kulit kayu, Naskah Khotbah Jum’at yang terbuat dari kulit kambing, dan Kitab Ilmu Fiqih yang juga terbuat dari kulit kayu.
Sebuah transisi pergantian era dapat dilihat secara langsung di satu daerah. Hal tersebut yang membuat situs ini menarik, di samping letaknya yang ada di tengah danau.
Latar Belakang Penemuan & Fungsi Candi Cangkuang
Candi Cangkuang dilaporkan oleh Vorderman dalam buku Notulen Bataviaasch Genootschap yang terbit pada tahun 1893. Pada buku itu disebutkan bahwa telah ditemukan arca dewa Siwa yang sudah rusak serta sebuah makam kuno di Kampung Pulo, Desa Cangkuang.
Laporan ini kemudian ditindaklanjuti oleh tim Profesor Harsoyo dan Uka Tjandrasasmita. Sehingga pada tahun 1966, candi ini ditemukan. Pada awal penemuan, terlihat ada reruntuhan dari candi. Setelah penelitian lebih lanjut, reruntuhan tersebut ternyata adalah makam Islam kuno dari leluhur masyarakat setempat, bernama Embah Dalem Arief Muhammad.
Selain makam kuno, terdapat pula banyak batuan dan serpihan pisau dari zaman megalitikum. Peneliti meyakini bahwa di sekitar daerah tersebut, semula terdapat sebuah candi karena banyaknya batuan Andesit yang berserakan, batuan ini sering diambil warga untuk digunakan sebagai batu nisan.
Candi ini direkonstruksi ulang karena kondisinya yang memprihatinkan. Pemugaran candi dilaksanakan tahun 1974- 1975 dan untuk rekonstruksi dilaksanakan pada tahun 1976. Dalam proses candi ini berhasil terekonstruksi mulai dari kaki sampai atap candi, dan satu arca dewa Siwa. Tapi, hanya ada 40% batuan asli dari bagian candi ini yang dapat ditemukan. Sebagai alternatif untuk melakukan rekonstruksi ulang, batuan yang dipakai terdiri dari koral, semen, pasir, dan besi
Fungsi Candi Cangkuang pada zaman dahulu sebagai tempat pemujaan. Oleh karena itu, arca yang ditemukan pada situs ini adalah arca dewa Siwa. Di bagian dalam candi ini terdapat sebuah arca dewa Siwa setinggi 40 cm dengan posisi sebelah kaki terlipat sembari menunggangi sapi.
Untuk sekarang, fungsi candi cangkuang sudah bergeser menjadi situs sekaligus salah satu destinasi wisata sejarah kabupaten Garut, Jawa Barat. Tenang, bukan hanya candi saja yang dapat kalian kunjungi, terdapat kampung adat dan makam kuno juga di area ini.
Arsitektur Candi Cangkuang
Bangunan candi ini adalah hasil pemugaran yang diresmikan tahun 1978. Pondasi candi ini berukuran 4,7 x 4,7 m dengan ketebalan 30 cm. Di bagian timur bangunan terdapat tangga naik yang berukuran 1,5 x 2,6 m.
Untuk badan candi, berbentuk persegi dengan panjang dan lebar berukuran 4,22 m serta tinggi sekitar 8,5 meter. Atap dari bangunan candi berbentuk seperti piramida berukuran 3,8 x 3,8 m.
Keadaan arca yang ditemukan sudah dalam kondisi yang rusak, bahkan beberapa bagian seperti pergelangan tangan sudah hilang dan bagian muka yang rata. Bentuk asli dari bangunan ini belum diketahui secara karena bentuk yang kita dapat lihat saat ini adalah hasil rekayasa.
Wisata Candi Cangkuang Garut
Seperti yang Museum Nusantara sampaikan, situs candi ini juga sudah menjadi objek wisata. Jika kalian ingin mencari situs sekaligus destinasi wisata sejarah, wisata Candi Cangkuang adalah salah satunya.
Untuk tiket sendiri, kalian perlu mempersiapkan Rp 10.000 untuk tiket masuk sekaligus sampan menuju desa Cangkuang dengan rincian tiket masuk Rp 5.000 dan menaiki sampan Rp 5.000, jika kalian membawa anak anak tiket masuk hanya bertarif Rp 3.000. Jam operasional destinasi wisata ini mulai dari pukul 09.00 sampai 16.00 dan buka setiap hari. Jika ada hari besar agama Islam beberapa tempat akan ditutup.
Baca juga: Candi Mendut: Peninggalan Sejarah Bercorak Budha
Demikian uraian tentang Candi Cangkuang Garut. Bagaimana, kalian tertarik untuk mengunjungi destinasi wisata ini? Jangan lupa juga untuk menyimak ulasan seputar budaya lainnya di Museum Nusantara, ya!
Tidak ada komentar