Nekara dan moko ialah contoh artefak perunggu yang terkenal dari zaman prasejarah di Indonesia, tepatnya pada zaman logam. Memang kalau sekilas kita lihat memiliki beberapa kesamaan. Bahkan pada beberapa sumber sering kali menyebutkan kalau moko merupakan nama lain dari nekara. Ternyata, keduanya tidak sama dan terdapat perbedaan. Artikel ini bakal mengulas perbedaan yang signifikan pada beberapa aspek, seperti fungsi, bentuk, dan makna budaya.
Mengenal Sejarah Nekara dan Moko
Daftar Isi
Dua benda ini pertama kali ditemukan daerah Dongson, sebuah wilayah Vietnam Utara sekitar 2.500 tahun yang lalu. Lalu masyarakat (para pedagang) tersebut membawanya ke Indonesia melalui jalur maritim (laut), dengan destinasi pertamanya Pulau Alor. Disinilah mereka menggunakannya sebagai barter barang dagangan. Sebenarnya awalnya hanya memakai nekara. Namun, lantaran sudah tidak adanya produksi, lantas menggantikannya dengan moko. Maka tidak heran memiliki kesamaan pada bentuk.
Fungsi
Kalau nekara terdapat berbagai fungsi, yaitu sebagai alat musik dan simbol status sosial. Cara dibunyikannya dengan cara dipukul, sehingga menghasilkan bunyi yang rendah dan menggema. Biasa masyarakat menggunakannya untuk berbagai ritual dan upacara adat, seperti syukuran panen, pemanggil hujan dan pernikahan. Selain itu, sebagai tanda simbol status dan kekayaan, jika memilikinya maka masyarakat menganggap orang tersebut berada pada status sosial tinggi.
Sedangkan moko fungsinya untuk alat tukar dan mas kawin dalam masyarakat adat di Kepulauan Alor, Nusa Tenggara Timur. Moko memiliki nilai yang sangat tinggi dan dianggap sebagai benda pusaka yang diwariskan turun-temurun. Bentuk dan motif hias pada moko menunjukkan status sosial dan garis keturunan pemiliknya.
Baca Juga: Kapak Corong: Peninggalan Sejarah Zaman Perunggu
Bentuk
Bentuk nekara seperti gendang besar dengan bagian tengah yang menonjol. Ukuran nekara rata-rata tinggi 2 meter. Bahan utamanya perunggu. Nekara biasanya terdapat hiasan berbagai motif hias geometris dan figuratif.
Ukuran moko jauh lebih kecil, yakni tingginya bervariasi antara 40 hingga 60 cm, dan berdiameter 32 cm. Moko Bentuknya kurang lebih seperti kapak lonceng dengan bagian atas yang pipih dan bagian bawah yang melengkung. Moko umumnya terbuat dari perunggu, tembaga, logam atau kuningan.
Baca Juga: Kapak Persegi: Alat Penunjang Hidup Manusia Neolitikum
Makna Budaya
Beberapa masyarakat daerah menganggap nekara sebagai benda sakral yang memiliki kekuatan magis. Masyarakat prasejarah percaya bahwa nekara dapat mendatangkan hujan, kesuburan, dan keberuntungan. Nekara juga digunakan sebagai simbol persatuan, termasuk warga asli Pulau Alor dan identitas kelompok.
Kalau moko memiliki bermacam makna simbolis yang antara lain mewakili status sosial, garis keturunan, dan nilai kekayaan. Moko juga berfungsi untuk simbol kesuburan. Moko memainkan peran penting dalam berbagai ritual adat dan upacara pernikahan masyarakat Alor.
Fakta Lainnya Tentang Nekara dan Moko
Terdapat Gong Nekara terbesar di Pulau Selayar, Sulawesi Selatan. Gong itu terbuat dari perunggu yang bentuknya menyerupai dandang terbalik, dengan luas lingkaran permukaan sebesar 396 cm persegi, luas lingkaran dan tinggi 95 cm. Terdapat gambar flora dan fauna terdiri atas gajah, burung, pohon sirih serta ikan. Bahkan dikategorikan terbesar se-Asia Tenggara.
Upaya Pelestarian Nekara dan Moko
Mengingat keduanya berstatus sebagai benda bersejarah, sejumlah pihak seperti pemerintah, budayawan, arkeolog bahkan masyarakat bisa melakukan melalui beberapa cara:
Pelajari Sejarah
Caranya bisa dengan membaca sumber artikel dan jurnal dapat kita akses secara online. Membaca buku tentang zaman prasejarah dan kalau punya saudara yang barangkali masih bersekolah dan terdapat materi tersebut bisa meminjamnya. Selain itu bisa mengunjungi tempat yang menyimpan benda bersejarah antara lain, Museum Nasional (Jakarta) dan Museum 1.00 Moko (Alor).
Tidak Vandalisme
Vandalisme sendiri identik berupa tindakan mencoret dan mengotori suatu benda. Ini termasuk tips saat melihatnya secara langsung. Usahakan tahan diri untuk tidak melakukannya. Karena selain merusaknya, kita harus menerima konsekuensinya, seperti membayar ganti rugi, harus membersihkannya hingga semua coretan terhapus dan yang paling fatal harus berurusan dengan hukum.
Dengan tidak melakukan hal tersebut, kita sudah berperan dalam menjaga kelestariannya. Kalau ingin mengabadikannya, tinggal memotretnya pada gadget dan harus hati-hati agar tidak menimbulkan kerusakan.
Membuat Festival atau Perayaan
Yang satu ini memang bisa kita lihat daerah asalnya, Pulau Alor. Adapun acara yang pernah diselenggarakan, seperti Festival 1000 Moko. Event tujuannya untuk melestarikan moko dan nekara, pasalnya jumlahnya terus berkurang. Semua elemen terlibat, termasuk masyarakat adat untuk menyukseskan.
Ada cara lain, seperti menyumbangkan dana untuk membantu pelestarian benda bersejarah, menjadi relawan di museum atau situs sejarah dan berpartisipasi dalam kegiatan edukasi dan pameran benda bersejarah. Tak hanya itu, bisa dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi (membuat ilustrasi dan desain menjadi lebih menarik dan konten saat melihatnya).
Baca Juga: Candi Sukuh, Peninggalan Bersejarah Kerajaan Majapahit
Nah, tergambar dengan sangat jelas perbedaan antara keduanya. Dengan kita telah pahami perbedaan ini membantu kita untuk lebih memahami kompleks keragaman budaya masyarakat prasejarah di Indonesia, termasuk benda yang pernah diproduksi pada setiap masanya. Semoga dapat memberikan pencerahan untuk memudahkan memahaminya, ya!
Tidak ada komentar