Selama masa penjajahan Belanda di Indonesia, sangat banyak terjadinya pemberontakan. Salah satunya, pemberontakan petani Banten 1888. Pemberontakan ini merupakan bentuk perlawanan para petani di Cilegon, Banten terhadap peraturan yang dibuat oleh Pemerintahan Kolonial Belanda. Lantas, bagaimanakah cerita dari pemberontakan ini yang menjadi bagian sejarah? Kalian bisa baca ceritanya, pada artikel ini!
Awal Mula Pemberontakan Petani Banten 1888
Daftar Isi
Berawal dari saat kota Cilegon, Banten dilanda kelaparan dan wabah penyakit dari hewan. Sebagai salah satu antisipasi, Belanda memberlakukan kebijakan untuk memusnahkan semua hewan, termasuk yang tidak memiliki potensi wabah sekalipun. Hal ini tentu, memicu kemarahan para petani.
Selain itu, Pemerintah Belanda juga memberlakukan berbagai macam pajak, seperti pajak tanah, pajak jiwa, hingga pajak hasil bumi. Apalagi, jumlah pajak yang diminta, diluar kemampuan masyarakat Indonesia.
Akibat dari ulah Belanda yang membuat petani sengsara. Membuat, mereka melakukan ritual yang dianggap dapat memperbaiki nasib mereka, antara lain sesajen hingga ritual pada benda tertentu. Ini membuat seorang ulama, bernama Haji Wasid menjadi khawatir dan tidak ingin warga terjebak pada kemusyrikan.
Namun, sayang Pengadilan Hindia Belanda, justru menjatuhkan hukuman denda kepada Haji Wasid karena dianggap menghalangi hak orang lain. Puncaknya, ketika Belanda merobohkan menara masjid.
Baca juga: Pemberontakan Andi Azis: Latar Belakang & Tujuannya
Kelanjutan Pemberontakan Petani Banten 1888
Pemberontakan bermula pada tanggal 9 Juli 1888, pada pukul 02.00 dinihari. Pemberontak berjumlah 100 orang dan seluruhnya bergerak dari tempat Haji Ishak di Saneja untuk menyerang rumah residen Francois Dumas, selaku juru tulis di kantor asisten residen VOC. Akan tetapi Dumas melarikan diri dan terpisah dari anak beserta istrinya. Dumas bersembunyi dirumah tetangganya yang berprofesi sebagai jaksa. Sedangkan anak beserta istrinya bersembunyi dirumah seorang ajun kolektor.
Saat itu, para pemberontak bertitik temu di Pasar Jombang Wetan, Cilegon. Selaku pemimpin, Ki Wasyid membagi pasukan menjadi 3 kelompok. Pertama, pasukan dipimpin oleh Lurah Jasim, seorang Jaro Kajuruan. Kedua, pasukan dipimpin Haji Abdulgani dan Haji Usman. Ketiga, pasukan dipimpin oleh Haji Tb. Ismail. Fokus penyerangan saat itu adalah pembebasan tahanan politik, kepatihan, dan rumah asisten residen yang berletak di alun-alun Kota Cilegon.
Puncak Pemberontakan Petani Banten 1888
Saat itu, Haji Tubagus. Ismail dan pasukannya menemukan Dumas yang sedang bersembunyi dirumah salah satu warga Tionghoa, bernama Tan Heng Kok. Akhirnya Alfred Dumas terluka dan dilarikan ke kepatihan oleh ajun kolektor. Dumas menjadi korban pertama di tangan pemberontakan pasukan Haji Tubagus. Ismail. Begitu juga anak laki-lakinya dan istrinya. Pembantu Dumas, Minah, dan anak bungsunya ditemukan ditengah sawah dalam keadaan luka parah.
Para pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Haji Usman menyerang Ulrich Bachet, kepala penjualan garam. Bachet akhirnya bersembunyi pada salah satu rumah penduduk yang terletak di belakang rumahnya. Bachet sempat melepaskan tembakan dari bedil miliknya. Namun, akhirnya Bachet dihabisi oleh pasukan Haji Usman.
Sebagian pemberontak yang dipimpin oleh Lurah Jasim berhasil membebaskan 20 tahanan. Pembebasan tersebut berhasil membunuh seorang sipir yang bernama Mas Kramadimeja. Namun Istri Gubbels, Anna Elizabeth van Zutphen, wedana, dan kepala penjara berhasil melarikan diri menuju arah kepatihan. Hal ini menyebabkan para pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim ini mengepung rumah kepatihan. Patih Raden Penna dicari oleh para pemberontak, namun ia tidak ada ditempat. Alhasil, Sadiman selaku pelayan di kepatihan pun meregang nyawa setelah dihabisi para pemberontak.
Para pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim akhirnya menggiring Wedana Cilegon, Raden Cakradiningrat, Jaksa Cilegon Mas Sastradiwiria, dan Ajun Kolektor Raden Purwadiningrat menuju alun-alun Kota Cilegon untuk dieksekusi. Salah seorang mantan tahanan politik, Kasidin, meluapkan amarah dan dendamnya terhadap wedana Cilegon yang saat itu memenjarakannya.
Setelah menyerang Alfred Dumas, Ulrich Bachet, dan Gubbels. Kini para pemberontak menyerang Jacob Grondhout, insinyur pengeboran pada departemen petambangan di Cilegon dan istrinya, Cecile Wijermans. Keduanya dihabisi oleh para pemberontak. Mas Asidin (magang yang diperbantukan pada asisten wedana Bojonegara), Mas Jayaatmaja (mantri ulu atau pegawai pengairan distrik Cilegon), Jamil (kepala opas asisten residen Anyer), Jasim (pelayan asisten wedana Krapyak Cilegon) juga turut dihabisi oleh para pemberontak.
Akhir Pemberontakan Petani Banten 1888
Begitu, Ki Wasyid dan kawan-kawan berhasil merebut Kota Cilegon. Kini para pemberontak bergegas menuju Kota Serang. Ki Wasyid beranggapan bahwa keseluruhan wilayah sekitar Kota Cilegon mesti direbut. Ki Wasyid menekankan pada para pemberontak bahwa penyerangan ini tidak pandang bulu, baik kolonial maupun pribumi yang berpihak pada kolonial.
Sementara itu, Bupati Serang, Kontrolir Serang, dan Letnan van ser Star membawa pasukan bersenjata api 28 buah. Mereka menuju Kota Cilegon untuk memulai pertempuran di daerah Toyomerto. Pasukan tersebut berhasil memukul mundur para pemberontak dengan menimbulkan korban 9 orang dari pihak pemberontak dan sebagian terluka.
Hal ini tentu mematahkan daya juang para pemberontak. Peristiwa ini membuat setiap pasukan induk pemberontak tercerai-berai dan pemberontakan pun mulai surut. Sementara itu, Ki Wasyid dan para pasukannya melakukan long march menuju arah Banten Selatan. Tanggal 30 Juli 1888, ekspedisi tentara kolonial mengakhiri perjalanan Ki Wasyid dan pasukannya ke daerah Sumur.
Para pemberontak tetap memberikan perlawanan terhadap tentara kolonial meskipun akhirnya mereka dilumpuhkan. Saat itu, kekuatan tentara kolonial terbilang kuat. Mulanya dipicu dari isu dikepungnya Kota Serang oleh 5.000 pemberontak. Hal ini menyebabkan pemerintah kolonial di Batavia mengirim 1 batalyon tentara yang diturunkan di Pelabuhan Karangantu.
Sementara para haji yang masih hidup, antara lain Haji Jafar, Haji Arja, Haji Saban, Akhmad, Yahya, dan Saliman, melarikan diri hingga ke Makkah, Arab Saudi untuk melindungi diri dari kejaran kolonial Belanda. Dengan demikian, pemberontakan ini dinyatakan selesai.
Baca juga: Indische Partij: Tombak Pemberontakan Tiga Serangkai
Dampak dari Pemberontakan Petani Banten 1888
Dampak dari pemberontakan tersebut, menimbulkan citra negatif terhadap ulama dan haji. Terlebih, perang tersebut melibatkan mereka. Bahkan, ketika ada kegiatan keagamaan, langsung dicuriga dan ditangkap. Ini merupakan bentuk dendam Belanda, dan beranggapan kalau ulama dan haji, bakal menggerakan massa untuk melawan Kolonial.
Demikian sejarah mengenai Pemberontakan Petani Banten 1888 atau dengan sebutan Geger Cilegon. Semoga bisa menambah pengetahuan sejarah Indonesia, ya!
Baca juga: Pemberontakan DI TII : Latar Belakang & Penumpasannya
Tidak ada komentar