Masih dalam suasana berkabung G30S PKI, kali ini Museum Nusantara akan mengangkat salah satu Pahlawan Revolusi yang gugur dalam peristiwa tersebut, yaitu Mayor Jenderal DI Panjaitan.
Selama ini, banyak masyarakat Indonesia menganggap konflik PKI dengan negara mayoritas berkaitan dengan agama Islam. Tapi hingga akhir hidupnya, DI Panjaitan dikenang sebagai pemuda Kristen Batak yang sangat taat. Bagaimana lengkapnya kisah hidup dan jasa besar dari Mayjen satu ini? Mari kita berkenalan dengannya lebih jauh.
Mengenal Sosok DI Panjaitan, Seorang Yatim Berprestasi
Daftar Isi
Donald Isaac Panjaitan lahir di dalam keluarga Batak di Sumatera Utara, 19 Juni 1925. Sejak usia belia, Panjaitan dikenal sebagai pria kecil yang cerdas di kampungnya. Saat lulus SD, prestasinya semasa sekolah membuatnya berhasil masuk ke Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO), sekolah menengah khusus keturunan Belanda.
Akan tetapi, MULO menjadi sekolah formal terakhir yang pernah ditempuh Panjaitan. Semasa SMP tersebut, kedua orangtuanya meninggal dunia.
Begitu lulus dari MULO, akhirnya pemuda Batak ini memutuskan masuk ke Giyugun, pasukan tentara sukarela bentukan Jepang untuk melawan Sekutu. Di usianya yang masih muda, Panjaitan berhasil diangkat menjadi Shodancho.
Saat kemerdekaan Indonesia tercetus, Panjaitan langsung bergabung dengan TKR. Ia bertugas di Divisi Banteng Bukittinggi sampai tahun 1956. Setelah itu, Panjaitan dikirim menjadi Atasan Militer Indonesia di Jerman. Selama di sana, Panjaitan aktif di kegiatan gereja setempat dan bahkan beberapa kali memberi khotbah.
Dalam salah satu khotbahnya yang paling berkesan, Panjaitan berkata, “Dunia bisa berubah, kalau dulu orang Jerman yang datang dan memberi khotbah ke orang Batak, nanti orang Batak yang datang ke sini dan memberi khotbah ke orang Jerman.”
Alasan DI Panjaitan Menjadi Salah Satu Target G30S PKI
Secara politis, Jenderal DI Panjaitan sebenarnya tidak sevokal Nasution atau Ahmad Yani. Selain itu, nama Panjaitan juga tidak termasuk dalam jajaran Dewan Jenderal yang disebut Letkol Untung akan menggulingkan pemerintah Soekarno.
Tapi pada tahun 1962, Panjaitan pernah melakukan investigasi pengiriman senjata rahasia dari China untuk PKI. Pasokan senjata dalam jumlah besar tersebut konon akan digunakan PKI guna melakukan pemberontakan selanjutnya.
Hal ini rupanya memicu dendam kesumat dalam hati loyalis PKI. Karakter Panjaitan yang tegas dan anti kompromi membuat namanya masuk dalam daftar perwira militer berbahaya. Apalagi ia adalah Asisten untuk Menteri AD Ahmad Yani. Sehingga PKI berpikir secara pemikiran, Panjaitan dan Yani pasti sangat dekat.
DI Panjaitan Terbunuh Saat Sedang Berdoa
Berdasarkan cerita istri DI Panjaitan, Marieke Tambunan, suami tercintanya terbunuh dengan sadis saat sedang berdoa.
Dini hari tanggal 1 Oktober 1965, keluarga Panjaitan dikejutkan dengan datangnya satu peleton tentara bersenjata mengepung kediaman mereka. Sebelum mendobrak pintu rumah utama, pasukan Pasopati Tjakrabirawa terlebih dulu menembak Albert dan Viktor Naiborhu, dua famili yang berusaha memberi perlawanan.
Seperti mendapat firasat buruk, Panjaitan mempersiapkan diri untuk menghadapi Tjakrabirawa tanpa banyak bicara. Saat namanya dipanggil, Albert (yang sedang sekarat) berusaha mencegah Panjaitan turun. Akhirnya setelah memakai sepatu dan kaos kaki, ia turun dari kamarnya di lantai atas.
Panjaitan menghadapi Tjakrabirawa tanpa membawa senjata. Ia hanya melipat tangannya dan berdoa.
Seolah tanpa hati, pasukan-pasukan tersebut memukul kepala DI Panjaitan. Tubuhnya juga diberondong puluhan peluru. Darah merah pun mengucur dari kepala, dada, dan sekujur tubuhnya. Badan tak berdaya tersebut kemudian diseret naik ke truk, menyisakan bekas seretan darah di sepanjang lantai dan depan rumah.
Dalam film G30S PKI, kita mungkin melihat adegan putri sulung Panjaitan, Catherine, mengusapkan darah ayahnya ke wajah. Berdasarkan kesaksian Marieke, kejadian ini bukan rekaan semata, melainkan kisah nyata. Hingga saat ini, Catherine Panjaitan (yang saat G30S PKI masih berusia 18 tahun) masih trauma jika mengingat pembunuhan ayahnya.
Saat meninggal dunia, Jenderal DI Panjaitan meninggalkan 6 anak yang masih sangat muda. Rumah DI Panjaitan sekarang sudah tidak ditinggali dan dialihfungsikan menjadi museum. Saat pengambilan film G30S PKI, adegan penculikan Panjaitan diambil langsung di rumah asli keluarganya.
Tidak ada komentar