Sebutan “Tukang Protes Profesional” pantas disematkan kepada Arief Budiman (Soe Hok Djie), seorang aktivis pejuang demokrasi yang dengan teguh membela hak-hak rakyat kecil. Berbekal keberanian serta pemikiran kritisnya, ia menentang penindasan yang ada di dalam Negeri bersama kawan-kawan aktivisnya di masa Orde Baru.
Pencetus Golput ini semasa hidupnya merupakan seseorang yang aktif dalam bidang akademik dan seni. Banyak sudah karya tulisannya yang telah diterbitkan. Berikut ini Munus akan membahas kisah lengkap sang pejuang.
Biografi Arief Budiman
Daftar Isi
Arief Budiman lahir pada 3 Januari 1941 di Jakarta dan merupakan kakak dari aktivis Soe Hok Gie. Dia dikenal sebagai aktivis politik, intelektual publik, penulis sekaligus sosiolog.
Sejak kecil, identitasnya sebagai keturunan Tionghoa membuatnya berada dalam golongan minoritas. Beliau merasa sering mendapatkan ketidakadilan. Seiring pertumbuhan usia, isu-isu politik membuatnya peka pada sikap-sikap tidak adil disekitarnya yang membuatnya melakukan perlawanan di kehidupan dewasanya.
Arief Budiman memiliki nama asli Soe Hok Djie, kemudian di awal orde baru dia mengubah namanya untuk memperjelas identitasnya sebagai orang Indonesia, hal ini rupanya banyak dilakukan oleh orang Tionghoa agar namanya terdengar lebih ‘Indonesia’. Sementara adiknya Soe Hok Gie tetap mempertahankan namanya.
Pada 1967, Arief menikahi istrinya yang bernama Sitti Leila Chaerani dan di anugerahi dua orang anak bernama Andrian Mitra Budiman dan Susanti Kusumasari. Keluarga kecil mereka tinggal di sebuah rumah di Desa Kemiri, Salatiga.
Pendidikan dan Karier Arief Budiman
Sebelum menjalani pendidikan sebagai mahasiswa psikologi di Universitas Indonesia, Arief Budiman sempat memperdalam ilmu di bidang pendidikan di College d’Europe, Brugge, Belgia pada tahun 1964. Setelah lulus dari Universitas Indonesia di tahun 1968, dia melanjutkan kuliah lagi di Paris pada tahun 1972. Kemudian pada tahun 1980, dia mengemban pendidikan sosiologi di Universitas Harvard, Amerika Serikat dan berhasil meraih gelar Ph.D.
Sekembalinya dari Harvard, pada tahun 1985 Arief menjadi dosen di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) di salatiga, namun sejak 31 Oktober 1994 Arief resmi dipecat melalui surat yang ditandatangani ketua umum dan sekretaris yayasan UKSW dengan tidak menerima jabatan sebagai tenaga jabatan akademik dan segala jabatan di UKSW.
Pemecatan ini dilandasi oleh keberaniannya bersama para dosen kritis lainnya, George Junus Aditjoncro dan Ariel Heryanto melakukan protes terhadap proses pemilihan rektor yang diduga tak demokratis dan penuh kecurangan.
Setelah kejadian itu, ia hengkang ke Australia kemudian diberi kesempatan untuk mengajar di Universitas Melbourne pada tahun 1997.
Sebelum aktif menjadi dosen, di tahun 1966 sampai 1972, ia pernah menjabat sebagai redaktur majalah Horison, dimana di tahun 1968 ia menjadi anggota Dewan Penasihat majalah ini. Selain majalah, ia juga pernah menjadi anggota Dewan Penasehat Kesenian Jakarta dan anggota Badan Sensor Film pada tahun 1968 sampai 1971.
Seorang Pemikir yang Kritis
Sebagai seorang intelektual, Arif Budiman memiliki pemikiran yang tajam dan bernas, tidak hanya memiliki pemikiran kritis, ia juga seringkali bergabung untuk turut menjadi barisan terdepan dalam gerakan perubahan sosial. Ia kerap menggunakan pemikiran strukturalisme untuk menggugat kapitalisme Orde Baru.
Dia seringkali menanyakan masalah kebijakan pembangunan, kemiskinan, ketidakadilan dan terabaikannya hak asasi manusia terhadap masyarakat kecil. Telah banyak artikel yang memuat pemikiran-pemikiran kritisnya dalam literatur Indonesia, salah satunya adalah dalam majalah horison.
Pemikiran Arief Budiman seringkali menjadi referensi para mahasiswa dan akademisi, relasi yang dimilikinya cukup luas bukan hanya pergaulannya namun juga dalam bidang pendidikan. Pernah Sekali pada tahun 1990-an Arief menjadi pembicara Latihan Kader dan forum ilmiahdalam kegiatan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) karena sosoknya yang kritis dan produktif dapat menjadi sebuah inspirasi.
Baca juga: Tan Malaka – Bapak Republik Si Pemikir Kritis
Seorang Aktivis yang Teguh
Arief Budiman dikenal sebagai aktivis ‘66 yang aktif pada zaman orde baru yang tak gentar memperjuangkan demokrasi dan membela kaum marjinal. Semasa hidupnya ia merupakan seorang aktivis tulen atau dalam artian tidak pernah mendekati dan menginginkan kekuasaan.
Sejak menjadi mahasiswa dia tahun 1963, ia berperan aktif menandatangani Manifesto Kebudayaan yang saat itu menentang kegiatan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) karena dianggap mengurung kreativitas seniman.
Di tahun 1964, sepulangnya dari Belgia, Arief ikut terlibat dalam demonstrasi mahasiswa untuk melengserkan jabatan Presiden Soekarno, sehingga lahirlah Orde Baru saat itu. Meskipun ia terlibat dalam lahirnya Orde Baru, Arief menyatakan sikap kritisnya terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto yang memberangus oposisi dan praktik KKN yang merajalela.
Jiwa aktivisnya makin tergerak ketika sang adik, Soe Hok Gie meninggal karena kecelakaan di Gunung Semeru pada tahun 1969. Ketika ia sedang menulis obituari tentang Soe Hok Gie, ia merasa mendapatkan pandangan baru yang membuatnya melihat perjuangan besar sang adik selama ini untuk membela rakyat kecil. Hal itu membuatnya lebih keras lagi untuk melawan ketidakadilan.
Kritisnya terhadap Presiden Soeharto membuatnya terlibat dalam berbagai gerakan oposis, salah satunya dalam aksi penolakan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang dianggapnya penuh kelicikan dengan adanya korupsi, kolusi dan nepotisme. Imbas dari aksi tersebut, ia harus ditahan pada tahun 1972.
Aksinya yang dinilai paling senter dan masih berpengaruh hingga saat ini adalah saat ia bersama kawan-kawan aktivisnya memproklamirkan istilah Golongan Putih atau Golput pada pemilu 1973. Aksi tersebut digelar sebagai bentuk penentangan para aktivis terhadap Golkar yang dianggap melesetkan cita-cita awal Orde Baru yaitu membangun pemerintahan yang demokratis.
Kala itu masyarakat dipaksa untuk memilih Golkar, dan jika tidak memilih maka akan terancam hukuman. Hal ini dinilai tidak adil oleh Arief Budiman, untuk itu ia menggagas gerakan golput yaitu memilih bagian kertas putih dalam surat suara.
Baca juga: Wiji Thukul: Penyair Bait Puitis Penentang Orde Baru
Meninggal Dunia di Usia 79 Tahun
Di tahun 2018, kesehatan Arief Budiman mulai menurun. Ia menderita sakit parkinson, yaitu sebuah penyakit yang menyerang saraf yang menyebabkan memburuknya aktivitas saraf dan mempengaruhi kerusakan sel saraf otak, sehingga penderita mengalami kesulitan untuk bergerak dan berbicara.
Tepat pada hari kamis, 23 April 2020 Seo Hak Djie atau yang semasa hidupnya dikenal dengan nama Arief Budiman menghembuskan nafas terakhirnya pada umur 79 tahun di rumah sakit dekat Salatiga, Jawa Tengah.
Karya dan Penghargaan Arief Budiman
Semasa hidupnya, Arief Budiman telah menghasilkan banyak karya, tulisan serta pemikiran dan juga penghargaan. Berikut beberapa buku karya Arief Budiman:
- Skripsi sarjana Psikologi UI dengan judul Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya tahun 1976.
- Perdebatan Sastra Kontekstual (berisi tulisan Arief Budiman tentang topik tersebut), diedit oleh Ariel Heryanto pada tahun 1985.
- Transmigrasi di Indonesia: Ringkasan tulisan dan hasil-hasil penelitian, terbit tahun 1985.
- Disertasi Doktor sosiologi Universitas Harvard dengan judul Jalan Demokrasi Ke Sosialisme: Pengalaman Chile di Bawah Allende terbit tahun 1986.
- Pembagian kerja secara seksual: sebuah pembahasan sosiologis tentang peran wanita di dalam masyarakat, diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 1982.
Penghargaan
- Tahun 1963, essainya berjudul “Manusia dan Seni” mendapatkan Hadia Ketiga majalah sastra.
- Tahun 2006, menerima penghargaan Bakrie Award
Kesimpulan
Arief Budiman merupakan sosok aktivis yang dikenal dengan keberaniannya menentang ketidakadilan di negeri ini. Pemikiran-pemikiran kritisnya telah banyak menghiasi literatur tanah air dan menjadi referensi para akademisi hingga saat ini. Kiprahnya di bidang pendidikan tidak perlu diragukan lagi, mulai dari gelar sarjana yang didapatkan dari Universitas Indonesia hingga gelar Ph.D yang ia dapatkan dari universitas Harvard.
Keterlibatannya dalam aksi-aksi melawan pemerintah ia lakukan demi membela rakyat-rakyat kecil agar tidak tertindas oleh penguasa. Telah banyak jasa yang ia torehkan dalam Negeri ini semata-mata untuk memberantas ketidakadilan.
Baca juga: Pierre Tendean: Biografi, Kisah Cinta dan Pengorbanan
Tidak ada komentar